Sepanjang 65 Tahun Republik Indonesia berdiri, dunia sains dan teknologi kita jarang tampil ke permukaan. Mungkin karena penelitinya bekerja dalam diam, banyak pencapaian penting bahkan bertaraf dunia, luput dari perhatian publik. Dr. Warsito (Penemu scanner 4D pertama di dunia yang karyanya dipakai NASA, lembaga antariksa Amerika), Dr. Khoirul Anwar (Penemu sistem komunikasi 4G) dan Dr. Yogi Erlangga (Jagoan matematika yang teorinya dipakai sejumlah perusahaan minyak dunia) adalah segelintir dari banyak ilmuwan anak bangsa. Tidak semua mereka bekerja di dalam negeri. Ada yang menyebar ke penjuru bumi. Mereka membuat kita bangga dan percaya bahwa sebenarnya Indonesia mampu mandiri secara ilmu dan teknologi. Dari mereka kita dapat belajar banyak... Mereka juga pernah kalah, gagal dan salah. Namun itu semua tidak menjadikan mereka berhenti berkarya, 'coz winner never quit and quitter never win... Dirgahayu Indonesia ke-65. Hargai ilmuwan dalam negeri dan Jayalah sains dan teknologi Indonesia!
INSPIRASI besar memang bisa datang dari mana saja, termasuk dari film animasi untuk anak-anak. Anda mungkin tak pernah mengira, sebuah film anime Jepang ternyata bisa mengilhami penemuan penting yang merevolusi anggapan tak terpatahkan di jagad transmisi telekomunikasi nirkabel.
Tapi cerita itulah yang terjadi pada diri Khoirul Anwar, dosen sekaligus peneliti asal Indonesia yang bekerja di laboratoriom Information Theory and Signal Processing, Japan Advanced Institute of Science and Technology, di Jepang.
Saat terdesak karena harus mengajukan tema penelitian untuk mendapatkan dana riset, Khoirul memeras otaknya. Akhirnya ide itu muncul juga dari Dragon Ball Z, film animasi Jepang yang kerap ia tonton.
Ketika Goku, tokoh utama Dragon Ball Z, hendak melayangkan jurus terdahsyatnya, 'Genki Dama' alias Spirit Ball, Goku akan menyerap semua energi mahluk hidup di alam, sehingga menghasilkan tenaga yang luar biasa.
"Konsep itu saya turunkan formula matematikanya untuk diterapkan pada penelitian saya," kata Khoirul, kepada VIVAnews melalui surat elektroniknya, Jumat 13 Agustus 2010.
Maka inspirasi itu kini mewujud menjadi sebuah paper bertajuk "A Simple Turbo Equalization for Single Carrier Block Transmission without Guard Interval."
Khoirul memisalkan jurus Spirit Ball Goku sebagai Turbo Equalizer (dekoder turbo) yang mampu mengumpulkan seluruh energi dari blok transmisi yang ter-delay, maupun blok transmisi terdahulu, untuk melenyapkan distorsi data akibat interferensi gelombang.
Asisten Profesor berusia 31 tahun itu dapat mematahkan anggapan yang awalnya 'tak mungkin' di dunia telekomunikasi. Kini sebuah sinyal yang dikirimkan secara nirkabel, tak perlu lagi diperisai oleh guard interval (GI) untuk menjaganya kebal terhadap delay, pantulan, dan interferensi. Turbo equalizer-lah yang akan membatalkan interferensi sehingga receiver bisa menerima sinyal tanpa distorsi.
Dengan mengenyahkan GI, dan memanfaatkan dekoder turbo, secara teoritis malah bisa menghilangkan rugi daya transmisi karena tak perlu mengirimkan daya untuk GI. Hilangnya GI juga bisa diisi oleh parity bits yang bisa digunakan untuk memperbaiki kesalahan akibat distorsi (error correction coding).
"GI sebenarnya adalah sesuatu yang ‘tidak berguna’ di receiver selain hanya untuk menjadi pembatas. Jadi mengirimkan power untuk sesuatu yang ‘tidak berguna’ adalah sia-sia," kata Khoirul.
Gagasan ini sendiri, dikerjakan Khoirul bersama Tadashi Matsumoto, profesor utama di laboratorium tempat Khoirul bekerja. Saat itu ia dan Tadashi hendak mengajukan proyek ke Kinki Mobile Wireless Center.
Setelah menurunkan formula matematikanya secara konkrit, Khoirul meminta rekannya Hui Zhou, untuk membuat programnya.
Metode ini bisa dibilang mampu memecahkan problem transmisi nirkabel. Apalagi ia bisa diterapkan pada hampir semua sistem telekomunikasi, termasuk GSM (2G), CDMA (3G), dan cocok untuk diterapkan pada sistem 4G yang membutuhkan kinerja tinggi dengan tingkat kompleksitas rendah.
Ia juga bisa diterapkan Indonesia, terlebih di kota besar yang punya banyak gedung pencakar langit, maupun di daerah pegunungan. Sebab di daerah tadi biasanya gelombang yang ditransmisikan mengalami pantulan dan delay lebih panjang.
Tak heran bila temuan ini membesut penghargaan Best Paper untuk kategori Young Scientist pada Institute of Electrical and Electronics Engineers Vehicular Technology Conference (IEEE VTC) 2010-Spring yang digelar 16-19 Mei 2010, di Taiwan.
Kini hasil temuan yang telah dipatenkan itu digunakan oleh sebuah perusahaan elektronik besar asal Jepang. Bahkan teknologi ini juga tengah dijajaki oleh raksasa telekomunikasi China, Huawei Technology.
Ini bukan sukses pertama bagi Khoirul. Pada 2006, pria asal Kediri, Jawa Timur itu juga telah menemukan cara mengurangi daya transmisi pada sistem multicarrier seperti Orthogonal frequency-division multiplexing (OFDM) dan Multi-carrier code division multiple access (MC-CDMA).
Caranya yaitu dengan memperkenalkan spreading code menggunakan Fast Fourier Transform sehingga kompleksitasnya menjadi sangat rendah. Dengan metode ini ia bisa mengurangi fluktuasi daya. Maka peralatan telekomunikasi yang digunakan tidak perlu menyediakan cadangan untuk daya yang tinggi.
Belakangan, temuan ini ia patenkan. Teknik ini telah dipakai oleh perusahaan satelit Jepang. Dan yang juga membuatnya membuatnya kaget, sistem 4G ternyata sangat mirip dengan temuan yang ia patenkan itu.
Namun, putra dari pasangan (almarhum) Sudjianto dengan Siti Patmi itu, tak pernah lupa dengan asalnya. Hasil royalti paten pertamanya itu ia berikan untuk ibunya yang kini hidup bertani di Kediri. "Ini adalah sebagai bentuk penghargaan saya kepada orang tua, terutama Ibu," katanya.
Ayah Khoirul meninggal karena sakit, saat ia baru lulus SD pada 1990. Ibunyalah kemudian berusaha keras menyekolahkannya, walaupun kedua orang tuanya tidak ada yang lulus SD.
Sejak kecil, Khoirul hidup dalam kemiskinan. Tapi ada saja jalan baginya untuk terus menuntut ilmu. Misalkan, ketika melanjutkan SMA di Kediri, tiba-tiba ada orang yang menawarkan kos gratis untuknya.
Saat ia meneruskan kuliah di ITB Bandung, selama 4 tahun ia selalu mendapatkan beasiswa. "Orang tua saya tidak perlu mengirimkan uang lagi," kata Khoirul mengenang masa lalunya. Otaknya yang moncer terus membawa Khoirul ke pendidikan yang tinggi.
Ia mendapatkan beasiswa S2 dari Panasonic, dan selanjutnya beasiswa S3 dari perusahaan Jepang. "Alhamdulillah, meski saya bukan dari keluarga kaya, tetap bisa sekolah sampai S3. Saya mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua pemberi beasiswa." katanya.
Sukses di negeri orang tak membuatnya lupa dengan tanah kelahiran. "Suatu saat saya juga akan tetap pulang ke Indonesia. Setelah meraih ilmu yang banyak di luar negeri," kata Khoirul.
Tak hanya itu, Khoirul juga kerap diundang memberikan kuliah kebudayaan Indonesia. "Keberadaaan kita di luar negeri tak berarti kita tidak cinta Indonesia, tapi justru kita sebagai duta Indonesia," kata dia.
Selama mengajar kebudayaan Indonesia, ia banyak mendengar berbagai komentar tentang tanah airnya. Ada yang memuji Indonesia, tentu, ada pula yang menghujat. Untuk yang terakhir itu, ia biasanya menjawab dalam bahasa Jepang: Indonesia ha mada ganbatteimasu (Indonesia sedang berusaha dan berjuang).
Kini, Khoirul tinggal di Nomi, Ishikawa, tak jauh dari tempat kerjanya, bersama istrinya, Sri Yayu Indriyani, dan tiga putra tercintanya. "Semua anak saya memenuhi formula deret aritmatika dengan beda 1.5 tahun," Khoirul menjelaskan.
Yang paling besar lahir di Kawasaki, Yokohama, berusia 7 tahun. Yang kedua lahir di Nara berusia 5,5 tahun, dan ketiga juga lahir di Nara, kini berusia 4 tahun. Ia tak sependapat dengan beberapa rekan Jepangnya, yang mengatakan kehadiran keluarga justru akan mengganggu risetnya.
Baginya keluarga banyak memberikan inspirasi dalam menemukan ide-ide baru. "Belakangan ini saya berhasil menemukan teknik baru dan sangat efisien untuk wireless network saat bermain dengan anak-anak," katanya.
Malahan, Khoirul sering mengajak anak-anaknya melakukan riset kecil-kecilan di rumahnya. Bersama anak-anaknya pula, Khoirul sering menyempatkan waktu menonton bersama, terutama film animasi kegemarannya: Dragon Ball Z, Kungfu Panda, Gibli, atau Detektif Conan.
"Film animasi mengajarkan anak kita nilai yang harus kita pahami dalam kehidupan," kata Khoirul. Film animasi Gibli, misalnya, banyak bercerita bagaimana seharusnya manusia bisa bersahabat dengan alam, tidak merusaknya, serta mencintai mahluk hidup.
Bahkan ide dan semangat baru terkadang muncul dari menonton film. Misalnya nilai kehidupan yang dia petik dari film Kungfu Panda: 'There is no secret ingredient, just believe'. "Nilai ini saya artikan bahwa tidak ada rahasia sukses, percayalah bahwa apapun yang kita kerjakan bisa membuat kita sukses." kata Khoirul.
WARSITO nyaris gila saat komputer kerjanya hangus terbakar disambar petir. Hanya satu laptop tersisa, dan itu juga tiba-tiba jebol. Ini cobaan berat: di komputer itu, hasil riset belasan tahun hilang tak berjejak.
Hampir sepekan dia berdiam diri di kamar. Mimpinya seperti kandas. Dia ingin menciptakan alat pemindai empat dimensi (4D) berbasis teknologi Electrical Capacitance Volume-Tomography (ECVT). Itu teknologi pemindaian tiga dimensi (3D), dengan obyek bergerak berkecepatan tinggi, sehingga menghasilkan citra 4D.
Getir. Tapi dia harus bangkit, dan tak boleh menyerah. Musibah itu memaksanya kembali membongkar arsip, dan catatan riset. Satu tim ahli dibentuknya membantu kerja besar itu. Mereka dari Center for Tomography Research Laboratory (CTECH Labs).
Barangkali itu hikmah di balik musibah. Sebelumnya, dia malas membongkar data yang tersimpan belasan tahun. Semuanya bertumpuk seperti bangunan tumpang tindih. Tak ada cara lain merapikannya, kecuali membongkar, dan membangun ulang dari nol. "Mungkin di sini kunci keberhasilan itu," katanya kepada VIVAnews.
Pada 2004, riset itu kelar. Tapi masih dalam bentuk simulasi. Meski begitu, temuan Warsito segera menjadi incaran sejumlah perusahaan terkemuka dunia. Teknologi pemindai 4D pertama di dunia itu akhirnya dipatenkan di Amerika Serikat, dan lembaga paten internasional PTO/WO pada 2006.
Tak kurang, yang naksir berat adalah NASA, lembaga antariksa Amerika. "NASA adalah lembaga luar yang pertama kali mengakui teknologi ini, dan kemudian memakainya meskipun masih taraf riset," katanya.
NASA memakai teknologi temuannya itu, untuk mengembangkan sistem pemindai tumpukan embun di dinding luar pesawat ulang-alik. Saat pesawat itu meluncur, ada perubahan suhu sangat tinggi. Tumpukan embun itu bisa merusak dinding pesawat yang terbuat dari keramik.
Setelah NASA, temuan Warsito dilirik oleh lembaga top lainnya, seperti Ohio State University, perusahaan B&W, Departemen Energi Amerika, University of Cambridge, dan sejumlah lembaga besar lain.
Teknologi Warsito itu diperkirakan bakal membawa perubahan drastis dalam perkembangan riset dan teknologi. Jangkauannya juga luas. Mulai dari bidang energi, proses kimia, kedokteran hingga nano-teknologi.
Menekuni riset tomografi sejak 1992, persisnya saat dia kelar tugas akhir S1, Warsito mengatakan hasil yang dicapainya adalah buah dari kerja keras. Tomografi yang dia kembangkan bukan ada secara tiba-tiba. “Proses pengembangannya panjang, diikuti improvisasi terus-menerus sampai saat ini," ujarnya.
Tomografi adalah teknologi memindai berbagai obyek, dari luar hingga kondisi bagian dalam, tanpa harus merusak penampangnya. Teknologi ini terdiri dari rangkaian sistem sensor, elektronika, dan komputer.
Dengan teknologi ini, pemindaian bisa dilakukan dari luar, tanpa menyentuh obyek. Contoh paling umum adalah mesin CT Scan, dan MRI yang digunakan di bidang kedokteran. Hanya, dua alat itu sekadar menghasilkan citra dua dimensi (2D), dengan obyek tidak bergerak.
Sedangkan tomografi ciptaan Warsito mampu memindai 3D, atau volumetrik dengan obyek bergerak berkecepatan tinggi. "Jadi bisa 4D yakni tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu," ujarnya. Aplikasinya pun, kata Warsito, sangat luas. “Dari reaktor yang dipakai di pabrik-pabrik, tubuh manusia, obyek-obyek skala nano, hingga perut bumi."
Menurut Warsito, pemindaian dari dalam menuju luar dinding itu bisa dilakukan karena teknologi tomografi 4D kreasinya memakai gelombang listrik non-linear. Teknologi pemindai lain menggunakan gelombang linear, sehingga hanya bisa memindai dari luar obyek, ke dalam obyek.
Di Indonesia, teknologi yang masih terus dikembangkan Warsito ini, digunakan untuk pemindaian tabung gas bertekanan tinggi, seperti kendaraan berbahan bakar gas Bus Transjakarta.
Tabung gas bertekanan tinggi perlu dipindai untuk memeriksa apabila ada retakan di dalam tabung yang tidak terlihat. Sebab, retakan itu bisa mengakibatkan ledakan, dan berdampak fatal. Sistem pemindai ini telah dipakai di pabrik tabung gas tekanan tinggi di Cikarang.
"Ada banyak teknologi turunan dari sensor dan tomografi ini yang sekarang sedang kami kembangkan, seperti sensor untuk treatment kanker, sistem pemindaian aktivitas otak manusia, hingga sensor untuk kebocoran tabung gas," Warsito menambahkan.
Di bidang kedokteran, teknologi temuan Warsito jelas mengungguli kemampuan CT Scan dan MRI. Penemu CT Scan, Sir Godfrey Hounsfield dan Dr. Alan Cormack, diganjar Nobel Bidang Fisiologi dan Kedokteran 1979. Pun penemu MRI, Paul Lauterbur dan Sir Peter Mansfield, yang meraih penghargaan sama tahun 2003.
Akankah Warsito menjadi peraih Nobel di masa mendatang?
"Rasanya terlalu tinggi untuk bangga dengan ini semua. Yang saya pikirkan hanyalah keinginan memberikan harapan bagi bangsa agar tidak terlalu pesimis dengan kemampuan mereka, dan tidak harus merasa rendah terhadap bangsa mana pun juga," ujar Warsito.
Bukan Superman, tokoh kartun DC Comics itu, yang memberi ilham bagi Warsito menciptakan teknologi 'tembus pandang' ini. Ia bahkan berkelakar tak percaya kehebatan Superman.
Temuan ini hanya serpihan imajinasinya sewaktu SMA. Kala itu, ia terpaku dengan sosok jenius dalam komik yang berhasil mengembangkan mesin foto copy yang mampu mengkloning benda sama persis aslinya.
"Cerita itu tidak pernah saya lupa. Itu sedikit memberi inspirasi untuk mengembangkan teknologi tomografi ini. Karena teknologi ini bisa 'meng-copy' seluruh obyek menjadi data digital 3D," ujar lelaki yang kini menjabat sebagai staf ahli Menristek.
Lahir di Solo, 16 Mei 1967, dia yang bernama lengkap Warsito Purwo Taruno ini, bukanlah anak yang tumbuh dengan mimpi besar. Sebagai anak desa di lereng Gunung Lawu, ia menjalani hidup ala kadarnya. Ia habiskan masa kecil bergumul dengan sawah, dan ternak.
Tapi memang, kemampuan intelektualitasnya ditempa karena dia gemar membaca buku. "Saya meminjam buku apa saja yang bisa saya pinjam dan baca. Saya membacanya di mana saja, bisa di sawah, ladang, sungai. Kambing saya kenyang makan tanaman orang, saya kenyang baca buku," ujarnya. Aktivitas itu dilakoninya hingga lepas masa SMA.
Sebagai siswa cemerlang, Warsito kemudian pindah ke Yogyakarta, setelah namanya tertera sebagai mahasiswa Teknik Kimia UGM. Tapi dia gagal sekolah ke kampus itu, karena terbentur masalah biaya. Ia lalu merantau ke Jakarta. Beruntung, dia mendapat beasiswa di Universitas Shizuoka, Jepang, 1987. Beasiswa mengantarnya meraih gelar tertinggi akademik (S3), 1997.
Pada 1999, dia hijrah ke Amerika Serikat. Berbekal riset tentang tomografi, dia menjadi satu dari 15 peneliti papan atas dunia di Industrial Research Consortium, Ohio State University. Sebuah lembaga riset terpandang yang menjadi acuan sejumlah perusahaan minyak raksasa di dunia semisal ExxonMobil, Conoco Phillips, dan Shell.
Di tengah kesibukan riset, ia meluangkan waktu menulis di sejumlah jurnal ilmiah bertaraf internasional. Tak jarang, ia juga dipercaya menjadi pembicara utama dalam sejumlah forum ilmuwan dunia.
Momen tak terlupakan adalah tatkala ia selesai memberi sesi paripurna (plenary lecture) di konferensi internasional tentang reactor engineering di Delft, Belanda, 1999. "Itu adalah sesi paripurna sebuah konferensi besar, yang dihadiri pakar dan professor dari seluruh dunia. Sepertinya tak ada penghargaan lebih besar dari itu, yang pernah saya rasakan dalam hidup saya. Bagaikan cerita di film."
Empat tahun dia curahkan tenaga dan waktu di Amerika. Mulai 2003 hingga 2006, ia memilih wara-wiri antara Amerika dan Indonesia. Akhirnya, dia memutuskan kembali ke Indonesia, membesarkan CTECH Labs yang dibangunnya di satu ruko mungil di kawasan Tangerang. “Cita-cita saya membangun institusi riset yang tidak kalah dengan institusi riset mana pun di dunia, dan itu di Indonesia.”
Di matanya, dunia sains di Indonesia kurang tantangan. Bukan hanya wadah yang terbatas, tapi juga interaksi antarilmuwan di ajang internasional lemah. Tantangan nyata dari industri juga minim. "Tanpa tantangan, dunia sains kita tidak akan maju,” ujarnya.
Usia 36 tahun. Lahir di Tasikmalaya. Yogi Erlangga meraih gelar doktor dari Universitas Teknologi Delft, Belanda pada usia yang terbilang muda, 31 tahun. Dia mencintai ilmu yang dibenci banyak orang, matematika. Di negeri kincir angin itu, dia dinobatkan sebagai doktor matematika terapan.
Dan matematika itulah yang melambungkan Yogi Erlangga ke perusahaan minyak raksasa dunia. Dia adalah efisiensi. Rumus matematika yang dikembangkannya membuat ribuan insinyur minyak bisa bekerja cepat. Akurasi tinggi. Dan akhirnya si raja minyak banyak berhemat.
Penelitian yang dilakukan Yogi dalam meraih gelar doktor berhasil memecahkan persoalan matematika atas gelombang yang bisa digunakan oleh perusahaan minyak untuk mencari cadangan emas hitam itu. Rumus yang dikembangkan Yogi ini seratus kali lebih cepat dari yang berlaku sebelumnya.
Bukan cuma perusahaan minyak yang riang, sejumlah perusahaan raksasa dunia yang mengunakan unsur gelombang juga bersukaria. Rumus matematika anak Tasikmalaya itu juga manjur untuk teknologi keping Blu-Ray. Keping itu bisa memuat data komputer dalam jumlah yang jauh lebih besar. Rumus itu juga mempermudah cara kerja radar di dunia penerbangan.
Dalam siaran pers --saat wisuda doktor Desember 2005-- Universitas Delft sungguh bangga akan pencapaian Yogi. Siaran per situ menyebutkan bahwa penelitian Yogi adalah murni Matematika.
Dia berhasil mengembangkan suatu metode kalkulasi, yang memungkinkan sistem komputer untuk menyesaikan ekuasi krusial secara lebih cepat. Padahal, persamaan krusial itu sulit diatasi oleh sistem komputer yang dipakai perusahaan-perusahaan minyak.
Penelitian Yogi itu didasarkan pada “Ekuasi Helhmholtz.” Bagi kalangan ilmuwan, metode ekuasi itu penting dalam mengintepretasi ukuran-ukuran akustik yang digunakan untuk mensurvei cadangan minyak.
Sebelumnya, pengukuran itu dilakukan secara dua dimensi. Namun, dalam penelitian doktoralnya, Yogi berhasil membuat metode kalkulasi yang digunakan untuk memecahkan ekuasi Helmholtz ratusan kali lebih cepat dari yang biasa.
Itulah sebabnya perusahaan-perusahaan minyak bisa memanfaatkan kalkulasi secara tiga dimensi untuk mencari cadangan minyak. Itulah sebabnya Delft yakin bahwa metode yang dikembangkan Yogi bisa mengundang daya tarik perusahaan-perusahaan minyak.
Profesor pembimbing tesis Yogi, Dr. Kees Vuik, bangga dengan kerja keras anak didiknya itu. “Berdasarkan respon-respon yang kami terima dari industri maupun universitas-universitas asing, kami yakin bahwa karya itu telah memecahkan masalah yang telah berlangsung selama tiga puluh tahun,” kata Vuik dalam siaran pers Universitas Delft.
Peneliti asal Institut Teknologi Bandung (ITB), Khairul Ummah, menyatakan kekagumannya atas pencapaian Yogi. “Riset PhD dia cukup dahsyat, memecahkan persoalan matematika gelombang yang digunakan oleh perusahaan minyak Shell untuk mencari cadangan minyak,” tulis Khairul dalam laman blog ilmiah SEPIA yang dia kelola bersama sejumlah akademisi lain.
“Hasil riset dia [Yogi] cukup menghebohkan dunia minyak, terutama dengan kemungkinan membuat profil 3 dimensi dari cadangan minyak. Metode dia berhasil memproses data-data seismik seratus kali lebih cepat dari metode yang sekarang biasa digunakan,” tulis Khairul.
Yogi meraih gelar sarjana ilmu aeronautika dari ITB pada 1998. Kemudian dia menimba ilmu di Belanda dan meraih gelar Master (Msc) di Universitas Teknologi Delft pada 2001 di bidang Matematika Terapan.
Empat tahun kemudian, di alma mater dan disiplin ilmu yang sama, Yogi meraih gelar Doktor. Sempat mengikuti program post-doctoral di Jerman, Yogi selanjutnya tercatat sebagai Asisten Profesor bidang Matematika di Universitas Alfaisal, Arab Saudi. Menurut data dari Universitas Alfaisal, Yogi sibuk dalam proyek penelitian aljabar linear dan analisis matriks.
Menurut Khairul, Yogi sempat merasa sedih bahwa dirinya lebih dihargai perusahaan-perusahaan asing ketimbang di Indonesia. Saat tidak ada perusahaan tanah air yang mengetahui karyanya, Yogi malah gencar didekati sejumlah perusahaan top dunia.
"Setelah hasil dia dipublikasikan, maka dia mendapat kontak dari Schlumberger untuk menindaklanjuti hal itu. Shell tentu saja sudah memakainya. Bahkan di Belanda dia diliput oleh media massa, juga media TV Belanda berencana mewawancarainya (tapi dia keburu pingin pulang, jadi tidak sempat). Jelas hal ini menunjukkan potensi ekonomi luar biasa dari algoritma matematik yang dia temukan,” tulis Khairul di blognya.
Di laman blog SEPIA, Mei 2006, Yogi mencurahkan uneg-unegnya atas tiadanya perhatian perusahaan-perusahaan asal Indonesia kepada karyanya. “Dari bangsa ini, sudah banyak yang memberikan kontribusinya masing-masing pada dunia keilmuan yang digelutinya. Sayangnya bangsa kita belum terbiasa untuk menghargai hasil karya keilmuan mereka,” tulis Yogi.
Dia mencontohkan, tahun 1970, Indonesia, Malaysia, Korea, China were nothing [sama-sama tidak ada apa-apanya]. Tahun 1980, Korea became something. Tahun 1990 Malaysia started to be something. “Sekarang, China is everything. Unfortunately, we are still nothing, sadly speaking,” tulis Yogi.
Namun, dia yakin bahwa masih banyak anak bangsa yang akan merasa bangga jika mereka menghasilkan segala prestasi terbaiknya di negeri sendiri dan untuk kejayaan bangsanya. Tinggal kemauan bangsa dan negara untuk menyambut keinginan mereka dengan sambutan yang “appropriate” [layak], kata Yogi.sumber: vivanews
Subhanallah. Kalo begini rasanya bangga menjadi bangsa Indonesia.
ReplyDeleteTapi kenapa ya, saya kadang mikir juga, para ilmuan keren ini lebih suka dimanfaatkan di negeri orang ketimbang memberi manfaat untuk negeri sendiri. I mean, mereka hanya nunggu dimanfaatkan di negeri sendiri sebelum akhirnya diambil alih oleh negeri asing.
ya, pada akhirnya saya tetap yakin, para ilmuan keren asal Indonesia itu tetap cinta Indonesia.
sebenernya banyak dari mereka yang ingin sekali berkarya di negeri ini daripada di negeri orang. tapi ya itu tadi, pemerintah belum bisa menemukan 'cara terbaik' bagaimana menghargai hasil karya mereka, mungkin juga kita masih belum bisa melihat peluang dari hasil penemuan mereka, karena saking advance-nya penemuan mereka. Padahal di satu sisi banyak dari negara lain yang sudah siap untuk mengaplikasikan penemuan mereka. *jika tidak diaplikasikan, sebuah penemuan hanya akan menjadi onggokan tak bermanfaat* dan itu adalah kesempatan baik untuk mereka karena wadah mereka untuk berkarya juga akan semakin luas.
ReplyDelete