Friday 22 February 2013

Kalender Aquarium

Akhirnya tibalah waktu yang dinanti-nanti oleh orang-orang yang menanti....

Gak terasa, besok udah harus angkat kaki dari Aquarium. 
Saya gak bisa ngebayangin bagaimana penampakan ruangan itu sekarang.... 
Sibuk nemuin dosen di kampus bikin kenyataan tentang pindah kantor ini seperti angin.
Hmm... semoga besok bisa nengok aquarium for the last time... ya for the last time. Karena tidak mungkin lagi PTM akan berkantor disana, atau mungkin kita yang tidak lagi berkantor di PTM :p

Bagi saya, aquarium ini adalah tempat saya mendamparkan diri setelah kontrak saya sebagai mahasiswa habis di kampus tercinta. Tapi memang tidak ada tempat pendamparan yang abadi di dunia ini.... 
4 tahun terdampar di FMIPA IPB ternyata gedungnya harus pindah ke Darmaga.
4 tahun kerja di BPPT ternyata gedungnya harus pindah ke Serpong.
Hmm...

Mumpung besok terakhir ke kantor, saya jadi ingat janji ke mba yuyun untuk buatkan kalender. Mungkin cuma itu yang bisa saya berikan sebagai kenang-kenangan, dan mungkin salam perpisahan untuk bekerja dalam unit kerja yang sama. 


Kalender sederhana yang selesai dibuat pukul 0:40 WIB, dengan segala keterbatasan tools dan materi. 
Hanya bisa menampilkan beberapa aktivitas keluarga cemara dan para sahabat yang berhasil diabadikan.
Semoga semua sahabat yang terekam dalam kalender ini berkenan untuk merelakan fotonya memeriahkan kalender ini.
Semoga menjadi kalender yang layak untuk dilihat, minimal dalam setahun ini.


Bye Aquarium. Selamat menerima penghuni baru.
Bye Mba Yuyun, selamat menempuh perjuangan baru.
Mohon Maaf Lahir Bathin.

Monday 4 February 2013

Media, layakkah dipercaya?

sumber gambar: kompas
 Kurang lebih setahun yang lalu, saya bertemu seorang teman di kota kecil di Jawa Timur. Tadinya dia bekerja sebagai jurnalis, pernah bekerja untuk beberapa media dan surat kabar. Setelah pengembaraannya, dia memutuskan untuk berhenti dan menjadi guru di kota tersebut. Penasaran, karena saya lihat minatnya terhadap jurnalis masih besar.Saya tanya alasannya, "Kenapa berhenti jadi jurnalis?" Terdiam sejenak, dia menjawab, "Media di Indonesia gak ada yang netral. Semua memihak kepentingan tertentu. Gue gak bisa kerja di tempat kayak gitu." Dari jawabannya, saya bisa mengambil 3 poin besar, yaitu media, idealis, dan netralitas.

Netralitas media. Satu hal sangat sulit saya temui pada segala pemberitaan di media. Saya bisa mengerti mengapa netralitas sulit direngkuh media. Pemilik dan kepentingan pemiliknya tentu akan menjadi faktor besar penentu sudut pandang pemberitaan di media tersebut. Sebut saja cara pandang pemberitaan TV one dan Metro TV tentang kasus lumpur lapindo. Kalau metro TV mengangkat tentang merananya para korban, TV one mengangkat tentang usaha yang dilakukan/ uang yang dikeluarkan untuk ganti rugi. Jelas sangat berbeda! Saya yakin, netralitas memang tidak mungkin diterapkan pada media.

Kasus LHI yang baru mencuat saja, media sudah mem-blow up berlebihan. Memberitakannya dengan tidak profesional, seakan LHI memang 100% benar-benar bersalah. Bahkan selanjutnya media mengangkat kasus ini bukan kasus LHI tapi kasus PKS. Yang artinya PKS lah yang melakukan korupsi itu. Ini tentu sangat berbeda saat AU jadi tersangka kasus yang lebih besar dari LHI. Media tidak memblow up PD, tapi tetap AU. Apa sebenarnya yang salah? keduanya sama-sama pemimpin partai. Padahal kasus LHI belum terbukti kebenarannya. Jawabannya adalah kemudi media berada di tangan yang menganggap LHI dan partainya sebagai common enemy. Dan begitulah media menjadi corong suara sang pemilik dan pemangku kepantingan.

Saya pikir, kalau memang netralitas media tidak mungkin dicapai, setidaknya seorang jurnalis dan media harus punya "objektifitas yang subjektif”. Tidak boleh ada manipulasi fakta, disinformasi, atau distorsi. Jadi, pemihakan dilakukan secara fair, tanpa kecurangan, sesuai dengan kode etik pemberitaan (kode etik jurnalistik), yang terdiri dari asas objektifitas, balance (berimbang), cek dan ricek, dan covering both side. Bukan memberitakan semaunya. 

Masih dalam kasus LHI, sebuah media menuliskan bahwa LHI yang tertangkap tangan. Padahal jelas-jelas bukan beliau. Demi menggiring opini publik untuk mencapai tujuan, kode etik tersebut pun dilanggar. Media macam apa itu? Jadi teingat pesan leader, "Peneliti itu boleh salah. yang gak boleh tuh berbohong." kenapa? karena sekali saja ia berbohong (dalam publikasinya) maka masyarakat (ilmuwan) tidak akan pernah mempercayainya.

Saya mengakui bahwa tidak semua pelaku media pers di Indonesia memahami kode etik dan kompetensi jurnalisme. Dan idealisme jurnalistik masih merupakan harga yang sangat mahal disini. Kalau begini modelnya, apakah media layak dipercaya? Memilih dengan hati, mungkin bisa jadi jawabannya. Kalau media berbohong maka hatimu tidak pernah berbohong.