Monday 27 June 2011

Membebaskan Diri dari "Mental Block"


Dua bulan berada dalam kungkungan rutinitas kantor, bikin saya jenuh yang amat sangat. Bahkan tadi ketika memasuki gerbang kantor, secara refleks terlontar kata-kata: Saatnya berjuang, berjuang tuk membunuh rasa bosan dan jenuh

Ya, dua bulan ini aktivitas saya di gedung ini cuma berhubungan dengan berkas-berkas, berhadapan dengan kompi yang setia membawaku menjelajah dunia, jurnal-jurnal, dan sebagainya... hooo.... sungguh daku kangen ngelab

Baca-baca tulisan di dunia maya, nemuin artikel yang bagus banget. Pas banget nih buat di-sharing. Sumbernya dari kompas.


Membebaskan Diri dari "Mental Block"

Sekelompok eksekutif di divisi penjualan pada sebuah perusahaan dengan nama besar mengeluhkan berbagai kesulitan yang dihadapi untuk bersaing, survive, dan menembus pasar. Tim yang menjadi ujung tombak untuk mencetak profit ini pun ketar-ketir dengan masa depan perusahaan. Kompetitor yang begitu agresif dengan berbagai terobosan telah merebut pasar mereka. Kini, mereka seakan tertampar karena menyadari selama ini alpa mendorong kreativitas sebagai sumber energi di dalam tim dan organisasi. Kita lihat, bukan lagi perlombaan modal yang kita hadapi sekarang, melainkan perlombaan kreativitaslah yang akan menentukan siapa yang melesat ke depan.

Kita memang tidak lagi bisa terlena menjalankan business as usual. Istilah think out of the box bahkan sudah tidak relevan lagi karena saat sekarang kita dituntut untuk tidak berada dalam "kotak" lagi. Kita lihat betapa absensi di banyak perusahaan kini tidak relevan lagi, digantikan dengan flexitime yang lebih mampu mendorong produktivitas dan membuat karyawan happy.

Ini adalah salah satu contoh dari lenyapnya "kotak" yang sering disebut-sebut itu. Bisakah kita membayangkan, pola kerja yang telah menerapkan kebebasan absensi, tetapi tetap menggunakan cara kerja dan kerangka pikir lama? Cepat atau lambat, semua keterikatan, peraturan, atau standar operasi yang tadinya ada, harus berubah sesuai tuntutan situasi, perlu ditinjau kembali, dan diperbarui. Siapa penggeraknya? Bukankah kita sendirilah yang harus setiap saat berpikir beda?

Sadar tidak sadar, kita kerap membangun tembok-tembok, benteng atau "kotak" yang membuat pandangan dan pikiran kita terbatas. Bukan saja menyadari, melainkan kita justru kerap menerima bahwa kita sudah terkungkung dengan paham konvensional, birokrasi, dan rutinitas yang menyebabkan diri kita tidak kreatif. Bila upaya kita mencari jalan keluar dirasa mentok, dengan cepat kita berpikir, "Mungkin saya memang tidak kreatif...."

Terobosan, pembaruan, dan inovasi adalah tuntutan kerja zaman sekarang. Kita tidak lagi bisa menganggap bahwa semua terobosan yang kita hasilkan adalah hasil kreativitas yang istimewa. Secepatnya, kita harus segera berpikir bahwa box yang kita rasa mengurung diri kita hanyalah paradigma yang perlu dicabut dari benak kita. Di saat sekarang, setiap orang harus secerdik kancil, tidak pernah boleh berhenti, dan tidak bisa merasa berada di titik kepuasan atau comfort.

Berpikir = saat bergembira
Kita sering merasa sudah menggunakan daya pikir kita secara all out, apalagi setelah rapat brainstorming atau rapat evaluasi yang sampai membuat kita merasa stres dan lelah. Seorang teman berkomentar, "Kalau dibombardir seperti ini oleh atasan, bagaimana kita bisa berpikir kreatif?"

Ada anggapan bahwa suasana kantor yang tegang membuat orang berhenti berpikir dan seakan menjadi robot saja. Rasa takut salah, anggapan bahwa "berpikir" adalah kegiatan yang sangat serius, menyebabkan otak kita membentuk semacam rem yang bisa menghentikan kegiatan berpikir. Sementara, ada orang yang tetap berpikir dalam tidurnya, pada saat melakukan segala macam kegiatan dan kemudian memunculkan ide baru tanpa peduli tempat dan waktu, "The brain is a wonderful organ. It starts the moment you get up and doesn’t stop until you get into the office."

Marilah kita memerhatikan bagaimana seorang anak sampai pada pemikiran-pemikiran yang unik dan tidak terpikirkan oleh kita. Pertama-tama, ia tidak memaksa dirinya untuk mendapatkan jawaban segera. Pikirannya mengembara tanpa ada batas-batas jam kerja atau situasi tertentu. Ia tidak pernah berpikir apakah ia seorang yang pintar, logis, ataupun rasional. Berpikir seakan menjadi kegiatan mental anak yang bagaikan permainan, tidak membuatnya stres, bahkan membuatnya bahagia.

Bagaimana dengan kita dalam situasi kerja? Bukankah kita sering merasa mentok saat kita memaksakan diri untuk berpikir sesuai dengan aturan tertentu atau berusaha se-rasional mungkin? Kita pun kerap membatasi berpikir hanya di saat meeting atau pada saat jam kerja. Belum lagi, kita sering menginstruksikan diri kita untuk tidak memikirkan urusan orang lain, divisi lain, dan perusahaan lain. Dari sini kita melihat bahwa mental block sebenarnya tidak terjadi, tetapi kita sendiri yang menciptakan benteng dan membatasi kemampuan berpikir kita. Kita yang sudah memblok mental, tentunya akan mati langkah.

Asik berpikir dan mengamati
Seorang teman mengatakan bahwa saat sekarang orang sudah tidak perlu susah-susah mencari tahu lagi. Dengan bantuan search engine, semua informasi tersaji di depan mata dalam waktu sekejap. Tantangan pada kegiatan berpikir kita justru saat harus memilih dan memilah informasi yang sudah tergelar secara terbuka dan real time. Bila kita sibuk membatasi pikiran dan menciptakan batasan-batasan, apa bedanya kita dengan orang yang hidup di era 30 tahun yang lalu?

Seorang teman selalu berkeyakinan bahwa solusi tidak datang begitu saja. Itu sebabnya dia piawai dalam proses mencari jalan keluar. Ia terbiasa mengajukan pertanyaan-pertanyaan, mengisi titik-titik pemahaman yang kosong, dan tidak malu-malu belajar pada orang yang lebih yunior mengenai sesuatu yang tidak ia ketahui. Ia pun terbiasa menikmati film, memerhatikan gambar, bahkan menunda rapat untuk "mengendapkan" masalahnya semalaman.

Banyak tokoh yang kita kenal luas dengan karya kreatif dan inovasinya memiliki kebiasaan berpikir yang membebaskan diri dari mental block, misalnya saja Einstein. Sebelum menemukan teori relativitas, Einstein mempunyai kebiasaan melakukan pengamatan ke mana saja ia pergi. Tidak ada hal yang luput dari perhatiannya. Ia memasang telinga, hidung, dan matanya tajam-tajam, dan menyerap semua gejala yang dialaminya. Ia membaca, bermimpi, serta hidup dengan pertanyaan-pertanyaan di benaknya. Bukankah ini kebiasaan-kebiasaan yang sangat bisa ditiru dan juga mudah untuk kita lakukan?

Hiiiii.... jangan sampai deh, aturan-aturan kantor menghambat kreativitas kita

Friday 24 June 2011

Kopdar Goodreads Indonesia 2011 (Ultah ke-4)


jadi peraga terpavorit. gayanya yang out of power bikin kita semua terhibur, haha :D :D

Kopdar tahunan Goodreads Indonesia, sekaligus memperingati Ultah Goodreads yang ke-4. Diadakan pada tanggal 12 Juni 2011 di Museum Bank Mandiri.

foto-foto lengkapnya (gabungan dari berbagai kamera, hehe) ada di sini:
http://www.flickr.com/photos/bacaituseru/sets/72157626823642839/with/5827689136/

Wednesday 22 June 2011

Tentang orang-orang tersayang


Disaat kamu ingin melepaskan seseorang.. ingatlah pada saat kamu ingin mendapatkannya
Disaat kamu mulai tidak menyayanginya.. ingatlah saat pertama kamu mulai meyayanginya
Disaat kamu mulai bosan dengannya.. ingatlah selalu saat terindah bersamanya
Saat kamu ingin membohonginya.. ingatlah disaat dia jujur padamu
Maka kamu akan merasakan arti dia untukmu.

Jangan sampai disaat dia sudah tidak disisimu,
Kamu baru menyadari semua arti dirinya untukmu

Yang indah hanya sementara
Yang abadi adalah kenangan
Yang ikhlas hanya dari hati
Yang tulus hanya dari sanubari

Tidak mudah mencari yang hilang
Tidak mudah mengejar impian

Namun yg lebih susah mempertahankan yg ada,
Karena walaupun tergenggam bisa terlepas juga

ingatlah pada pepatah,
"Jika kamu tidak memiliki apa yang kamu sukai, maka sukailah apa yang kamu miliki saat ini"

Belajar menerima apa adanya dan berpikir positif....

Hidup bagaikan mimpi, seindah apapun, begitu bangun semuanya sirna tak berbekas

Rumah mewah bagai istana, harta benda yang tak terhitung, kedudukan, dan jabatan yg luar biasa, namun...
Ketika nafas terakhir tiba, sebatang jarum pun tak bisa dibawa pergi
Sehelai benang pun tak bisa dimiliki
Apalagi yang mau diperebutkan

Tubuh dan paras yg selama hidup di dunia kamu bangga2kan
akhirnya akan hancur juga menjadi tanah

Apalagi yang mau disombongkan

Maka..

Jalanilah hidup ini dengan keinsafan nurani
Jangan terlalu perhitungan
Jangan hanya mau menang sendiri
Jangan suka sakiti sesama apalagi terhadap mereka yang berjasa bagi kita

Belajarlah tiada hari tanpa kasih
Selalu berlapang dada dan mengalah
Hidup ceria, bebas leluasa...

Tak ada yang tak bisa di ikhlaskan....
Tak ada sakit hati yang tak bisa dimaafkan
Tak ada dendam yang tak bisa terhapus..


*mungkin lebih tepat ini tentang sahabat, tentang orang-orang tersayang....*


SAHABAT, aku ingin menjadi sahabatmu selamanya. Saling menguatkan dalam ukhuwah islamiyah....


sumber plurk dengan beberapa perubahan.

Tuesday 7 June 2011

Filfot: Untuk apa saya memotret?


Awalnya saya berfikir, fotografi hanyalah tentang keindahan. Bagaimana mengambil gambar yang indah yang membuat diri ini dan orang lain berdecak kagum dengan keindahan tersebut. Tapi ternyata sesuatu yang indah itu akan mudah dilupakan...

Awalnya saya berfikir, untuk menghasilkan gambar yang bagus harus pake kamera yang canggih, seperti SLR digital.Tapi ternyata dalam fotografi tidak penting kamera apa yang digunakan, yang terpenting adalah orang (fotografer) yang memotret suatu peristiwa. Bagus tidaknya suatu foto tidak hanya tergantung pada kualitas gambar yang ditampilkan, tapi lebih pada pesan yang ingin disampaikan melalui foto tersebut yang hanya bisa ditampilkan oleh ide/imajinasi sang fotografer. The man behind the gun...

Sejak pertama punya kamera, saya selalu berfikir, kamera ini saya gunakan untuk apa? meski jujur awalnya saya membeli kamera adalah untuk mengabadikan keindahan ciptaan-Nya, tapi apakah hanya tentang keindahan? Apa ya esensinya fotografi? 

Selama seorang fotografer masih menuruti kaidah 'foto indah' atau foto salon sesuai selera umum, ia akan terus terjebak untuk menyenangkan orang lain, tanpa memberi kesempatan kepada dirinya untuk menghadirkan dimensi lain dari karya-karyanya. Mungkin akan lebih bermakna jika kita menjadikan foto karya kita sebagai 'potret diri', seperti layaknya menjadi seorang chef
yang menciptakan resep baru, bukan hanya sekedar  jadi tukang masak. Maka kita akan berekspreimen dengan segala teknik fotografi yang dikuasai dan pengalaman yang pernah dicap. Mulailah membuat foto dengan sebuah pemahaman lain, dengan sesuatu yang baru...

Seorang fotografer dikatakan berhasil bukan karena berhasil memotrek wanita berbikini di pinggir pantai atau kolam. Inilah persepsi fotografi (sejak lama) yang justru membuat rusaknya image fotografi itu sendiri, pada akhirnya fotografi selalu dikaitakan dengan hal-hal yang negatif. Padahal fotografi itu harusnya mencerdaskan, dan  berhasil membuat siapapun yang melihat foto tersebut tuk berbuat baik lebih banyak, bukan hanya soal menumbuhkan rasa simpati terhadap objek foto, tapi juga action.

Gak lucu banget kan kalo dimarahin pengemis gara motoin pengemis itu lagi kepanasan tengah hari, atau digebukin warga gara2 pas ada kebakaran fotografer malah sibuk foto daripada ngebantuin warga. Ada aspek2 tertentu seperti situasi, sosial, perasaan orang ternyata tidak semua bisa seenaknya diambil asal jepret.

Fotografi juga tentang gagasan, perasaan dalam hati, dan interaksi dengan objek foto. Maka Robert Capa mengatakan: “If your picture aren’t good enough, that’s mean you’re not close enough”. Dan memang foto-foto penuh pesan hanya dihasilkan ketika diambil dari kedekatan sang fotografer dengan objeknya. Itu dihasilkan karena sang fotografer memotret momen-momen dramatis tersebut secara dekat bahkan turut merasakan nuansa  yang  terjadi disana. Itulah makna kedekatan.

 

Contoh lain adalah para fotografer wildlife di National Geographic. Mereka adalah sosok-sosok tangguh baik secara fisik maupun mental. Bahkan konon kabarnya setiap fotografer tersebut melatih kekuatan fisiknya untuk mampu bertahan hidup (survival) dalam alam liar yang ganas. Foto-foto menakjubkan yang dihasilkan mereka bukan dihasilkan dari sekedar memotret sejam dua jam, namun membutuhkan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan momen yang pas. Bahkan Sang fotografer menunggu selama lebih dari 3 bulan di tempat yang sama hanya untuk mendapatkan foto seeokor gorilla tengah meminum air di sebuah mata air. Dan selama 3 bulan itu sang fotografer berada dalam tenda kecil yang dibangunnya di atas pohon! Adalagi kisah seorang fotografer (jurnalis) dalam sebuah perang yang berhasil memotret seorang tentara yang tertembak peluru sebelum tentara tersebut jatuh ke tanah. Begitu dekatnya sang fotografer dengan tentara tersebut sehingga yang melihat fiti tersebut dapat ikut merasakan peristiwa mencekam saat itu. Padahal bisa saja justru sang fotografer itu ikut tertembak! itulah ketangguhan seorang fotografer dalam mengambil makna sebuah kedekatan.


Fotografi juga soal mengabadikan momen atau peristiwa, menjadi bukti sejarah hidup manusia dan peristiwa-peristiwa yang melingkupinya. Dengan keberadaan foto, banyak orang bisa diingatkan dan disadarkan tentang suatu hal. Bayangkan jika Frans Soemarto Mendoer tidak memfoto peristiwa proklamasi RI atau negatif film tersebut dirampas tentara Jepang... tentu saja menjadi perjuangan sangat berat untuk mencetak foto tersebut. Wartawan senior Alwi Shahab menulis “Andaikata tidak ada Frans Mendoer, maka kita tidak akan punya satu foto dokumentasi pun dari peristiwa proklamasi kemerdekaan…” (Republika edisi Minggu, 14 Agustus 2005, tiga hari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke-60).


Mengenai kamera, tak terlalu penting kamera jenis apa yang Anda miliki. Asal mengerti teknik dasar, lalu bukalah hati dan pikiran. Biarkan energi dari subjek yang Anda foto merasuki. Seorang pemuda di Filipina yang mengupload foto-fotonya ke situs Flickr.com sehingga akhirnya jepretannya itu ditemukan oleh salah satu fotografer dan reviewer fotografi terkemuka dunia, Kenrock Well, dan mendapat pujian atas jepretan-jepretannya itu. Dan yang mencengangkan adalah pemuda itu memotret semua foto nan indah itu hanya dengan kamera di HP-nya yang resolusinya sangat kecil.

Nacthwey cenderung memakai lensa yang tidak lebih panjang daripada 50mm (andalan dia adalah 16/20-35L dan 35 1.4L) simpel dengan alasan lebih dekat dengan subjeknya, dia bisa ajak mereka
berinteraksi dan "merasakan" apa yang mereka rasakan saat itu.

sumber: kaskus

Henri Cartier Bresson sepanjang hidupnya cuma memakai lensa 50mm, cuma karena dia TIDAK MAMPU membeli lensa lain pada saat itu (bahkan dia hanya membeli Leica yang saat itu bisa dibilang kelas bawah dibanding dengan Contax/Zeiss atau SINAR) tapi yang terpenting adalah kemampuannya untuk MELIHAT apa yang dia bilang "decisive moments" (momen yang gak akan terjadi dua kali sepanjang hidup) dan menerjemahkannya ke dalam gambar.


Dan saya, atas saran dari seorang teman, mulai belajar dengan menggunakan kamera manual jadul (Pentax K1000). Rasanya puas banget, meski hasil 1 roll belum bagus semua (maklum masih newbie). Emang bener sih belajar teknik fotografinya kena banget, mulai dari memahami fungsi dan hubungan antara Speed/kecepatan dengan Apeature/Rana dengan ISO/ASA... yang paling asik tuh pada saat mencuci pilem nya itu, hati serasa dag dig dug deeeerrr... bener-bener menegangkan plus penasaran abis dengan hasil fotonya :D

Belajar dengan kamera manual tidak menutup kemungkinan kalau kita mau belajar teknik kamera film, kita akan menemukan hal2 yang tidak di temukan di kamera digital, seperti proses cuci film, seperti film BW, proses cetak nya dll ....

Sekian ulasan singkat tentang filosofi fotografi dari saya yang baru mengenal ilmu perfotoan ini. Banyak hal yang tidak bisa dituliskan, hanya bisa dirasakan sendiri :)


Teringat saran seorang suhu fotografi. Jika ingin belajar fotografi, rajin memotretlah... dengan jenis kamera apapun, memotret apapun... karena proses belajar itu tidak sekali saja lalu berhenti, tapi berkelanjutan... dan akhirnya kamu tahu perbedaan foto-foto hasil jepretanmu dari awal kamu memotret hingga saat terbaru ;)


Selamat menghasilkan foto-foto yang bermakna