Saturday 29 October 2011

Optimalisasi 10 Hari Pertama Dzulhijjah

Allah telah menetapkan waktu-waktu tertentu memiliki makna yang agung yang disediakan bagi hamba-hambaNya. Bagi seorang mukmin tentu tidak boleh mengabaikan momentum-momentum mulia tersebut dalam rangka taqarrub kepadaNya. Tidak lama lagi kita akan memasuki bulan Dzulhijjah 1432 H, diharapkan agar kita mensyiarkan bulan ini dengan memperbanyak ibadah kepada Allah.

TENTANG BULAN DZULHIJJAH

Sesungguhnya termasuk sebagian karunia Allah dan anugerah-Nya adalah Dia menjadikan untuk hamba-hamba-Nya yang shalih waktu-waktu tertentu dimana hamba-hamba tersebut dapat memperbanyak amal shalihnya. Diantara waktu-waktu tertentu itu adalah sepuluh hari (pertama) bulan Dzulhijjah. Berkenaan dengan firman Allah Ta’ala:
”Demi Fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr:1-2)

Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam ayat ini Allah Ta’ala telah bersumpah dengan “sepuluh hari” pertama dari bulan Dzulhijjah ini. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Jarir ath Thabari dan Ibnu Katsir rahimakumullah dalam kitab tafsir mereka.

KEUTAMAAN BULAN DZULHIJJAH

Hari-hari sepuluh pertama bulan Dzulhijjah ini memiliki beberapa keutamaan dan keberkahan, dan penjelasannya sebagai berikut:

PERTAMA : beramal shalih pada sepuluh hari ini memiliki keutamaan yang lebih dibanding dengan hari-hari lainnya.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. bahwa Nabi saw. Bersabda, “Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah.” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab, “Tidak

juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari)

Dari Umar r.a., bahwa Nabi saw. Bersabda, “Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir, dan tahmid.” (HR. Ahmad)

KEDUA : keutamaan yang lebih khusus pada hari kesembilan sebagai hari ‘Arafah.
Pada hari ini para jama’ah Haji melaksanakan wukuf di ‘Arafah, dan wukuf ini merupakan rukun utama dari ibadah Haji. Karenanya hari ini menjadi hari yang memiliki keutamaan yang agung dan keberkahan yang melimpah. Diantara keutamaannya, bahwa sesungguhnya Allah menggugurkan dosa-dosa (dosa kecil) selama dua tahun bagi orang yang berpuasa pada hari ‘Arafah.

Dari Abu Qatadah al Anshari radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah ditanya tentang puasa pada hari ‘Arafah, maka beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “(Puasa pada hari itu) mengugurkan dosa-dosa setahun yang lalu dan dosa-dosa setahun berikutnya.” (HR.Muslim)

KETIGA, Takbir, Tahlil dan Tahmid Serta Dzikir
Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “…dan agar mereka menyebutkan nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan…” (QS. Al Hajj:28)
Para ahli tafsir menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “hari-hari yang telah ditentukan” adalah sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Oleh karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma yang artinya, “maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir, dan tahmid.”(HR. Ahmad)

KEEMPAT : keutamaan hari ke sepuluh bulan Dzulhijjah, yaitu ‘Iedul Adh-ha yang disebut juga yaumul Nahr.
Dalil yang menunjukkan keutamaan dan keagungan hari ‘Iedul Adh-ha adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Qurth radhiallahu anhu, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bahwa beliau bersabda: “Hari teragung di sisi Allah adalah hari ‘Iedul Adh-ha (yaumul Nahr) kemudian sehari setelahnya…” (HR. Abu Dawud)
Dan hari yang agung ini dinamakan juga sebagai hari Haji Akbar. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji akbar.” (QS. At Taubah:3)

Mari menyerukan kepada seluruh umat islam untuk mengoptimalkan dan melakukan serangkaian amal ibadah di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah:
1.      Berkurban bagi yang mampu
2.      Memperbanyak dzikir (takbir, tahlil dan tahmid)
3.      Berpuasa di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah teruatama puasa di hari Arafah
4.      Berinfak kepada tetangga yang fakir dan miskin
5.      Melaksanakan al-Yaum ma’al Qur’an (hari bersama AlQur'an)
6.      Membaca al-Qur’an minimal 1 juz setiap hari
7.      Melaksanakan Qiyamul Lail sepuluh hari berturut-turut
8.      Memperbanyak silaturrahmi


Sumber: Taujih rutin pekananku.

Tuesday 25 October 2011

Pilkada, Masyarakat, dan Harapan.

Rangkaian pesta demokrasi pemilihan Gubernur Banten memang telah usai. Namun aromanya
belum pudar. Di sana sini tiap desa masih terlihat stiker yang tertempel di tiang dan tembok bangunan. Baik yang masih utuh maupun yang sudah robek (tepatnya dirobek). Rasanya di setiap pesta demokrasi di negeri ini selalu ditemukan aksi perobekan spanduk atau stiker kampanye suatu calon oleh calon lainnya yang merasa terancam. Saya tidak bisa mengerti jalan pikiran mereka, mengapa harus merobek perangkat kampanye lawan? apakah dengan merobek itu semua, calon yang dijagokannya akan dapat melenggang mulus ke pintu kemenangan? padahal menggunakan cara yang salah! Saya dan teman-teman tidak pernah merobek ataupun meniban stiker calon lain yang telah di tempelkan di suatu tempat. Kami selalu mencari lahan yang kosong untuk ditempeli. Kami merasakan betapa itu adalah tools yang dibeli oleh uang-uang kami yang jumlahnya terbatas, maka itu harus cermat membelanjakannya dan memasangnya. Saya pribadi sangat miris ketikamelihat atau menemukan tools kampanye kami dalam keadaaan robek-robek gak karuan. Rasanya hati jadi ikut terobek juga *lebay mode on*, maka itu tidak pernah terbersit sedikitpun tuk merusak tools kampanye lawan. Apalagi sampai menyewa orang, seperti yang dilakukan oleh salah satu calon di pesta demokrasi ini, memberikan upah kepada para tukang ojek dan preman untuk merobek spanduk kampanye lawannya. Mau tau berapa? 50rb untuk satu spanduk! Naudzubillah min dzaalik...

Melihat hasil penghitungan suara di kelurahan saya, ataupun versi quick count memang pasangan calon yang saya dukung kalah telak. Saya coba mengintrospeksi yang selama ini telah dilakukan, mungkin ikhtiar kami belum sempurna... Sedih memang jika calon yang telah kita perjuangkan mengalami kekalahan telak, tapi lebih sedih lagi melihat kondisi masyarakat yang mudah terbujuk uang. Seorang warga pernah berkata, "ada pemimpin baru atau ngga, sama aja. toh keadaan gini-gini aja, gak berubah." ya jelas lah gini-gini aja... situ juga milihnya gak berubah *siapa yang ngasih uang, itu yang dipilih*.

Dalam pemilu, Politik uang itu lumrah. Itulah yang disampaikan salah satu calon. Dan memang tidak bisa disangkal bahwa masyarakat yang tidak cerdas dan calon pemimpin yang tidak jujur lah yang mebuat budaya ini sulit dihilangkan. Di banyak TPS, ada oknum-oknum yang menyerukan untuk memilih calon tertentu (bahkan anggota KPPS nya). Di sebuah kelurahan, setiap pengurus posyandu mendapat uang 150 ribu perorang agar menggerakkan massa untuk memilih calon tersebut. Begitu juga struktural pengurus kecamatan, dan kelurahan... bahkan seorang tetangga mendapatkan sebuah mobil dari salah satu calon! Kontan saja masyarakat memilih calon tersebut.

Kalau caranya saja sudah salah, bagimana Allah mau meridhoi kepemimpinannya? Kalau masih berstatus 'calon' saja berani berbuat curang, bagaimana kalau sudah jadi pejabat yang godaan disana semakin besar? dan saya sempat bertanya-tanya dari mana uang yang mereka sebar-sebarkan itu? apakah mereka rela kehilangan uang itu ataukah mereka akan 'mencari gantinya' ketika mereka terpilih menjadi pejabat? kalau itu benar, lantas bagaimana dengan uang yang seharusnya dialokasikan untuk rakyat? dll...

Padahal kita sebagai muslim, terlebih di Indonesia yang sebagian besar penduduknya muslim, bisa berpatokan pada Al-Quran yang mengatur segala hal tentang kehidupan manusia, termasuk dalam hal pemimpin ini. Setiap yang kita lakukan pasti akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Maka diperlukan ikhtiar dan ijtihad dalam memilih calon-calon tersebut. Golput bukanlah sesuatu yang baik.

Banyak masyarakat (mungkin sebagian besar) seperti tidak punya jati diri, mudah terprovokasi, dan mudah terombang-ambing. Rasanya perlu usaha lebih keras lagi untuk melakukan pencerdasan politik bagi masyarakat ini. Agar mereka bisa melihat mana yang baik dan yang tidak baik, memilih yang terbaik dari yang baik, agar memilih dengan cara yang baik untuk Indonesia yang lebih baik.

Akhir tulisan pendek ini, terselip harapan besar, semoga pemimpin yang terpilih nanti mampu mengemban amanat yang berat ini dengan amanah sehingga Banten segera sejahtera :)
Semoga masayarakat akan segera menyadari urgensi memilih yang benar dalam pemilu selanjutnya :)

Friday 21 October 2011

Suharna Surapranata, Teladan di Semua Mihwar Dakwah

Rating:★★★★★
Category:Other
Suharna Surapranata, baru (atau sudah) dua tahun saya berkantor satu gedung dengan beliau, sekarang posisinya sudah digantikan oleh pejabat lain yang ditunjuk SBY (Gusti M. Hatta).

Bagi saya, juga teman-teman kantor, Pak Harna adalah salah satu sosok keren yang dapat dijadikan teladan. Meski saya hanya berada di sebuah LPND, bukan di kementerian Ristek, tapi saya dapat merasakan kemajuan kementerian Ristek yang beliau pimpin selama dua tahun ini. Bahkan karena 2 tahun berturut-turut mendapatkan laporan keuangan dengan predikat 'Wajar tanpa pengecualian", Ristek kini boleh lega karena akan menerima remunerasi... tapi mengapa disaat kementrian yang dipimpinnya akan mendapatkan remunerasi, justru sang mentri harus keluar dari yang selama ini dipimpinnya....

Kata seorang teman, saat ini kerja di ristek sedang enak-enaknya. Segala pondasi, program, jaringan yang ditebar, dsb sudah ditanam. Jadi pelaksaan kerjapun bisa berjalan lancar sesuai yang telah direncanakan dalam 5 tahun masa kerja.

Mengenai sosok Pak Harna lebih detil mungkin Pak Cahyadi Takariawan lebih tau dari saya. Berikut Tulisan beliau yang saya copas dari islamedia (http://www.islamedia.web.id/2011/10/suharna-surapranata-teladan-di-semua.html).
Semoga kita bisa mengambil teladan dari seorang Suharna Surapranata.

============================================================

Gonjang-ganjing reshuffle kabinet banyak mendapatkan sorotan media akhir-akhir ini. Banyak media menilai PKS emosional mensikapi reshuffle ini lantaran seorang menterinya terkena dampak, harus meninggalkan kursi kementrian untuk diganti personal lain. Benarkah ada sikap emosional menghadapi reshuffle tersebut, dan bagaimana sikap Menteri yang terkena reshuffle ?

Menteri dari PKS yang terkena reshuffle itu adalah Suharna Surapranata. Apakah ia emosional menghadapi peristiwa ini ? Ah, berlebihan pertanyaan itu. Kang Harna, panggilan akrab sang menteri, ternyata biasa saja. Bersikap sangat arif dan tenang, sama sekali tidak ada kesan emosional.

Belum Pengumuman, Sudah Berpamitan

Bagi banyak kalangan, jabatan menteri dianggap sebagai sebuah posisi yang prestis dan terhormat, maka banyak orang berebut mendapatkannya. Oleh karena itu, bagi sebagian menteri, reshuffle sungguh merupakan tamparan dan menjadi momok yang sangat menakutkan. Namun tidak demikian dengan Kang Harna. Mantan Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PKS ini menganggap posisi menteri adalah amanah dakwah. Maka sebagai bagian utuh dari proses dakwah, ia siap ditempatkan dimanapun pos-pos yang bisa menjadi lahan baginya untuk berkontribusi secara optimal.

Begitu isu reshuffle sudah kian menghangat, dan sudah ada isyarat dari Istana Negara bahwa dirinya akan diganti, ia langsung menyiapkan segala sesuatu. Selasa pagi, 18 Oktober 2011, Kang Harna memimpin Rapim Menristek yang dihadiri para pejabat di lingkungan Kementrian. Pada Rapim tersebut, Kang Harna menyampaikan bahwa dirinya akan segera diganti oleh personal lain yang akan ditunjuk oleh Presiden SBY. Oleh karena itu Kang Harna menyampaikan kalimat pamitan dan beberapa pesan.

Tentu saja pernyataan tersebut sangat mengejutkan para pejabat di lingkungan kementrian Ristek, karena belum ada pengumuman resmi dari Presiden SBY terkait reshuffle. Banyak kalangan pejabat di kementrian yang merasa tidak percaya atas informasi tersebut. Selama ini hubungan sang menteri maupun kementrian Ristek dengan Presiden SBY baik-baik saja, tidak ada masalah atau kasus apapun yang layak dipersoalkan. Bahkan ada banyak kemajuan serta prestasi di Kementrian Ristek selama dipimpin Kang Harna.

Apalagi jika dibandingkan dengan beberapa kementrian lainnya yang tengah ada kasus, atau mendapatkan “raport merah” dari UKP4, atau ada masalah dengan laporan keuangan kementrian. Justru Kementrian Ristek posisinya aman-aman saja, bahkan mendapatkan nilai bagus, maka pernyataan pamit Kang Harna sangat mengejutkan para pejabat dan staf di lingkungan Kementrian Ristek.

Bukan hanya pamitan di forum resmi tersebut, namun Kang Harna juga mengunjungi seluruh lantai dan memasuki ruangan-ruangan untuk menyapa sekaligus berpamitan dengan para pegawai di lingkungan kementrian Ristek. Benar-benar kejutan, karena tidak menyangka Kang Harna menyapa mereka dan berdialog dengan para staf, sekaligus berpamitan. Kang Harna sudah pamit padahal reshuffle belum diumumkan SBY, sehingga belum ada kepastian apakah Menristek diganti atau tidak.

Para pegawai di lingkungan Kementrian Ristek memanfaatkan momentum itu untuk bersalaman dan berpotret bersama sang Menteri. Ya, Menteri Ristek di hari terakhir pengabdiannya. Sebagian pegawai bahkan terharu dan meneteskan air mata karena tidak menyangka Kang Harna akan segera meninggalkan mereka.

Usai mengungkapkan pamit, Kang Harna menyampaikan beberapa pesan kepada para pejabat dan staf di lingkungan Kementrian Ristek, bahwa jabatan itu hanya amanah yang setiap saat bisa selesai. Beliau mengatakan reshuffle Menristek itu hanya pindah nakhoda, karena semuanya sudah tersedia, seperti undang-undang, visi, misi kementrian dan perangkat lainnya. Untuk itulah Kang Harna meminta semua pejabat dan staf bekerja semakin profesional bersama menteri baru nantinya.

Telah Selesai Berkemas

Sesungguhnya, semenjak isu reshuffle bergulir, Kang Harna sudah memerintahkan kepada para staf khusus beliau untuk segera berkemas. Demikianlah Kang Harna menyikapi setiap ada isu reshuffle. Seakan sudah memastikan bahwa dirinya yang akan terkena. Hal sama beliau lakukan saat ada isu reshuffle setahun yang lalu, beliau sudah memerintahkan staf untuk berkemas. Namun ternyata waktu itu tidak jadi ada reshuffle.

Para staf segera melakukan perapihan di kantor Kementrian Ristek, dengan memilah barang-barang. Kang Harna berpesan agar cermat dalam melakukan packing. Jangan ada barang kementrian yang terbawa, dan jangan ada barang pribadi yang tertinggal. Hingga hari Senin 17 Oktober 2011, packing sudah selesai dilakukan oleh para staf. Barang-barang sudah dikemas dengan rapi dan tinggal membawa pergi.

Pulang Dengan Mobil Pribadi

Usai berpamitan dan berpesan dengan pejabat dan staf di lingkungan Kementrian, Kang Harna pun pulang. Luar biasa, siang itu, Selasa 18 Oktober 2011, beliau pulang mengendarai mobil pribadi. Mobil dinas Menristek beliau parkir di kantor, kunci serta seluruh perlengkapan mobil sudah dititipkan kepada pegawai yang berwenang.

Para pejabat yang melepas beliau semakin heran. Seseorang bertanya, “Mengapa tidak menggunakan mobil menteri?” Kang Harna menjawab, “Saya sudah pamitan. Itu jatah mobil menteri baru nanti”, jawab beliau.

Sebuah keteladanan yang luar biasa. Betapa banyak pejabat yang ingin selalu menikmati bahkan memiliki fasilitas dinas. Kalau perlu tidak dikembalikan, walaupun tidak lagi menjabat. Tidak demikian dengan kader senior PKS ini. Kang Harna memberikan contoh perilaku politik yang santun, beradab dan bertanggung jawab. Kang Harna simbol kesalihan seorang pejabat negera setingkat menteri.

Tidak perlu menunggu pengumuman resmi. Beliau sudah berpamitan. Beliau sudah mengemas semua barang. Beliau sudah menyerahkan mobil kementrian. Maka, siang hari itu, sejarah perpolitikan di Indonesia mencatat, seorang Menteri yang menuntaskan pekerjaan di hari terakhir tugasnya, dengan sempurna.

Luar biasa. Sikap konsistensi kepada keyakinan, sikap kesederhanaan, sikap kehati-hatian telah dicontohkan. Sejarah perpolitikan Indonesia harus mencatat peristiwa ini, sebagai pelajaran bagi seluruh pejabat di republik ini.

Mengembalikan Rumah Dinas

Kemana Kang Harna setelah selesai pamitan di Kantor Kementrian Ristek ? Selasa siang itu, 18 Oktober 2011, dengan menggunakan mobil pribadinya, Kang Harna langsung menuju rumah Dinas Menristek. Beliau meneliti kondisi rumah, dan memastikan bahwa rumah dinas tersebut sudah berada dalam kondisi rapi. Beliau memasuki rumah dan melihat semua bagian dan ruangan dengan detail. Jangan ada barang-barang milik dinas yang terbawa, dan jangan ada barang milik beliau yang tertinggal.

Setelah memastikan bahwa semua sudah beres dan rapi, beliaupun meninggalkan rumah dinas Menristek. Beliau ingin memastikan bahwa rumah dinas tersebut besok pagi sudah siap ditempati Menristek yang baru. Luar biasa, sebuah sikap kesederhanaan dan kehati-hatian yang pantas diteladani oleh semua masyarakat dan bangsa, khususnya bagi para pejabat negara.

Lagi-lagi, sejarah perpolitikan di Indonesia harus mengabadikan peristiwa ini. Sebuah pendidikan politik bagi para pejabat di seluruh level, agar bersikap profesional, sederhana dan bersahaja.

Mengganti KTP

Masih ada yang kurang, siang itu. Usai meneliti rumah dinas, Kang Harna segera meluncur ke Kantor Kelurahan. Apa yang beliau lakukan ? Ternyata beliau mengurus pergantian KTP.

Dalam KTP yang beliau miliki selama menjabat menjadi Menristek, tertulis identitas “Menteri” di KTP tersebut. Maka Kang Harna ingin semua selesai pada hari itu pula, Selasa 18 Oktober 2011, sebelum ada pengumuman resmi reshuffle kabinet. Beliau meminta agar dibuatkan KTP baru dengan identitas yang baru pula, karena besok pagi beliau sudah bukan Menteri.

Lega. Kang Harna menyelesaikan pembuatan KTP baru. Apa yang berbeda dari KTP tersebut ? Kalau semula tertulis identitas “Menteri” pada KTP beliau, sekarang tertulis “Wiraswasta” pada KTP yang baru.

Lagi-lagi, luar biasa Menteri yang satu ini. Perjalanan panjang dalam gerakan dakwah telah membentuknya memiliki karakter yang mulia. Beliau tidak ingin ada pemalsuan identitas. Beliau bukan lagi menteri, besok pagi. Maka tidak layak memiliki KTP yang bertuliskan identitas “Menteri”. Beliau ingin tampil dengan identitasnya yang asli, “Wiraswasta”. Bukan “Mantan Menteri”.

Jam 13.00 Sudah Selesai Semuanya

Ya, jam 13.00 wib hari Selasa 18 Oktober 2011, sudah selesai semua urusan Kang Harna. Sudah berpamitan dan memberi pesan di Kementrian Ristek. Sudah mengembalikan mobil dinas. Sudah meninggalkan dan merapikan rumah dinas. Sudah mengganti identitas di KTP. Lega, semua urusan sudah dibereskan. Rasanya tidak ada yang tersisa.

Masyaallah. Pengumuman reshuffle belum disampaikan. Belum ada kepastian apakah Kang Harna akan jadi diganti atau tidak. Namun semua urusan sudah dibereskan. Jika nanti malam Presiden SBY mengumumkan kabinet baru, dan ternyata dirinya benar-benar diganti, maka ia sudah menuntaskan seluruh urusannya. Tidak ada lagi yang menjadi bebannya.

Keluarga Menyambut Gembira

Kang Harna memang sudah dihubungi oleh Mensesneg Sudi Silalahi, yang menyampaikan pesan dari Presiden SBY bahwa dirinya akan diganti. Ia menerima pesan itu dengan perasaan “legowo”, tidak melakukan “pemberontakan” atau “perlawanan”. Misalnya dengan membuat pernyataan di media yang menyatakan bahwa dirinya dizalimi atau tidak terima kalau diganti, atau semacam itu. Tidak, sama sekali tidak.

Kang Harna justru mengirim kabar itu melalui sms kepada anak-anak beliau. Apa respon anak-anak atas berita itu ?

“Alhamdulillah Abi !” ini jawaban anak pertama.

“Alhamdulillah. Berarti Abi bakal lebih sering bersama kita. Kalau begitu kita perlu syukuran !” jawab anak kedua. Ya, semua keluarga menyambut gembira.

Dua tahun menjadi Menristek, membuat Kang Harna lebih sibuk daripada sebelumnya. Jam 06.00 wib Kang Harna sudah berada di kantor Kementrian Ristek. Ya pagi-pagi sekali beliau sudah berada di kantor, bahkan sering sebelum jam 06.00 wib beliau sudah masuk kantor. Setelah itu beliau berkegiatan di dalam kantor atau berkegiatan di luar lingkungan kantor Kementrian. Sore atau malam baru pulang ke rumah dinas.

Dengan irama kesibukan seperti itu, membuat beliau semakin jarang bertemu keluarga. Beliau ingin memberikan contoh teladan bagi semua pejabat, pegawai dan staf di lingkungan Kementrian Ristek, bahwa bekerja harus bersungguh-sungguh dan penuh dedikasi. Habis menunaikan shalat Subuh beliau sudah siap pergi ke kantor. Maka, sebelum jam 06.00 beliau sudah berada di ruangan Menristek. Kadang jam 05.30 sudah berada di ruang kerja kementrian.

Maka demikian bergembira anak-anak beliau, saat mendapat kabar bahwa Kang Harna akan digeser dari Menristek dan diganti personal lain yang ditunjuk Presiden SBY. Coba perhatikan respon spontan ini, “Alhamdulillah. Berarti Abi bakal lebih sering bersama kita. Kalau begitu kita perlu syukuran !”

Benar, malam harinya, Presiden SBY mengumumkan kabinet baru hasil reshuffle. Suharna Surapranata digantikan oleh Menristek yang baru, Gusti Muhammad Hatta.

Kinerja Kementrian

Penggantian Kang Harna dari Menristek sudah pasti bukan karena kinerja. Karena berdasarkan penilaian Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan BPK, kinerja Menristek diakui bagus. Bahkan laporan keuangan Kementrian dibawah Kang Harna dinyatakan WTP selama dua tahun berturut-turut, maka renumerasi Kemenristek dipercepat tahun ini.

Nilai “Wajar Tanpa Pengecualian” (WTP) adalah opini audit atas laporan keuangan yang paling bagus atau menempati posisi paling atas. Opini audit lainnya adalah “Wajar Dengan Pengecualian” (Qualified Opinion), “Tidak Memberikan Pendapat” (Disclaimer) dan “Tidak Wajar” (Adverse). Maka dengan melihat hasil penilaian UKP4 serta nilai WTP selama dua tahun di bawah kepemimpinan Kang Harna, menandakan kinerja Menristek tidak ada masalah.

Maka tatkala Presiden SBY mengumumkan kabinet hasil Reshuffle, dan ternyata Kang Harna keluar dari jajaran kementrian, publik layak bertanya, atas dasar apa pergantian itu ? “Sudahlah, tidak perlu diperdalam. Ini sudah terjadi”, jawab Kang Harna.

Seperti yang ditulis Kompas, “Kendati tak mengetahui alasan pasti terkait pencopotannya, mantan Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata mengaku legawa. Tak lupa, politisi Partai Keadilan Sejahtera ini mengucapkan syukur karena telah memiliki kesempatan mengabdi kepada negara”.

"Saya juga merasa bersyukur bisa membantu Presiden selama dua tahun ini," kata Suharna kepada para wartawan di sela-sela upacara pelantikan menteri dan wakil menteri di Istana Negara, Jakarta, Rabu (19/10/2011).

Ketika ditanya lebih rinci terkait detik-detik pencopotannya, Suharna enggan menceritakannya. Pencopotannya dipandang hak prerogatif Presiden sepenuhnya. Dirinya hanya mengaku menerima telepon dari Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi.

"Sudahlah. Saya kira ini tidak perlu diperdalam. Ini sudah terjadi," ujarnya singkat.

Suharna mengatakan, selepas menjadi menteri, dirinya ingin kembali ke PKS dan membangun partai. Pencopotan Suharna yang secara resmi disampaikan Presiden di Istana Merdeka, Selasa (18/10/2011), turut mengurangi jatah kursi menteri partai dakwah tersebut. Demikian ulasan Kompas.

Bahkan, saat acara serah terima jabatan Menristek di kantor Kementrian, Kang Harna menyampaikan, “Saya pinjam pantun Pak Tifatul. Ayu Ting Ting naik Kopaja, yang penting kita tetap bekerja.” Itulah slogan yang sangat nyata. Dimanapun Kang Harna, pasti akan terus bekerja untuk masyarakat, bangsa dan negara.

Kang Harna di Mata Saya

Beliau orang yang ramah, santun dan bersahaja. Beliau salah seorang jajaran qiyadah dakwah yang memberikan contoh konsistensi dalam kehidupan. Kader senior dakwah yang menapaki jalan panjang dan terjal, menghantarkan dakwah dari ruang-ruang tertutup menuju ruang-ruang kenegaraan. Dan beliau sendiri mencontohkan bagaimana sikap seorang negarawan.

Beliau tidak pernah berambisi jabatan apapun, baik dalam organisasi maupun dalam jabatan publik. Saat beliau mendapatkan amanah menjadi salah seorang calon menteri yang diusulkan oleh PKS, kami semua mengetahui bahwa beliau keberatan dengan posisi itu. Beliau merasa ada lebih banyak kader dakwah yang tepat pada posisi kementrian. Namun, beliau juga memberikan contoh bahwa amanah harus dilaksanakan dengan segenap kemampuan.

Itulah yang sering saya katakan, “Posisi-posisi dalam dakwah ini datang dan pergi. Bisa datang, bisa pergi, bisa kembali lagi, bisa pula tidak pernah kembali. Bisa ‘iya’ bisa ‘tidak’. Iya menjadi pengurus, pejabat, pemimpin dan semacam itu; atau tidak menjadi pengurus, tidak menjadi pejabat, tidak menjadi pemimpin, tidak menjadi apapun yang bisa disebut”.

Kang Harna telah memberikan contoh kepada kita. Beliau tetap bekerja, dimanapun berada. Beliau selalu di jalan dakwah, selalu istiqamah, saat masih duduk di bangku kuliah, saat perintisan awal dakwah, saat mengalami masa-masa pertumbuhan dakwah yang sulit, dan bahkan akhirnya menjadi pejabat negara, dan sekarang kembali lagi menjadi masyarakat biasa. “Wiraswasta”, begitu pilihan identitas di KTP-nya.
Tidak menyalahkan sana menyalahkan sini, tidak emosi karena dicopot dari menteri, justru beliau menampakkan sikap yang rendah hati.

Luar biasa. Gemblengan perjalanan dakwah puluhan tahun telah menampa Kang Harna memiliki karakter yang sangat kuat. Layak diteladani oleh para kader, tentang kesederhanaan, tentang ketekunan, tentang dedikasi, tentang konsistensi, tentang kehati-hatian, tentang kesantunan, tentang profesionalitas kerja, tentang kemampuan adaptasi di segala mihwar, tentang sikap kenegarawanan, tentang komitmen kekaderan, tentang visi yang terang benderang, tentang platform pembangunan Indonesia yang jelas.

Banyak, teramat sangat banyak yang bisa kita pelajari dari kader senior yang satu ini. Saya salah seorang kader yang merasa bangga, memiliki senior yang memberikan keteladanan mulia kepada generasi berikutnya. Semoga semakin banyak kader berkualitas Suharna Surapranata.

Bekerja untuk Indonesia!!!

Tuesday 18 October 2011

Postcrossing: RU-574980

a beautiful card from Olga. She is from Russia. i think this cards shows a place in her country.


Thank you for this card and nice stamp :)
Happy postcrossing!

Postcrossing: FR-166616

Greeting from France again :)
This card from Melaine, she is 11 years old. She lives with her parents in a farm.


Thanks Melaine, Happy postcrossing!

postcard from Germany without code

Many Greetings from Germany!!



this's postcard without postcrossing's code. i wanna thank you for Kristin who sent this card. But i can not register this card because the code is not available.

Happy postcrossing :)

Postcrossing: NL-776126

I like flowers.
This card shows a beautiful flower in Nederland (Belanda). it's of my friend's favourite flower. In Dutch called klaproos.


Thanks Maiya :)
Happy Postcrossing!

Postcrossing: RU-532694

Greeting from Moscow,
This postcard features the Altai Mountains on night.
Thanks Olga ^__^
Happy Postcrossing!

Postcrossing: CN-439729

Greeting from China!

This card shows the view of the forbidden city in Beijing.
My friend said: "It is the palace of the about 24 emperors in history.So the forbidden means that ordinary person are not allowed to enter before.But nowaday we can visit this palace,because there is no king now."
Thanks Sevon :)
Happy Postcrossing!

Postcrossing: FR-163680

This card is from Karine. She lives in a small town in the middle of France.
This shows the city where she lives.


Thanks Karine ^__^
Happy Postcrossing!

Postcrossing: FI-1184992

Greeting from Finland!
My friend said that this place is in middle of Finland.



Thanks Eero ^__^
Happy Postcrossing!

Postcrossing: HK-37028

Greeting from Hongkong!

The postcard shows The Canton Tower in Guangzhou... You can see the new landmark and recent highest building of China.


Thanks Angel ^__^
Happy Postcrossing!

Postcrossing: TW 354045

Postcard from Gayo (Taiwan)



The postcard shows a beautiful lake in Taiwan.
Thanks Gayo :)
Happy Postcrossing!

Monday 17 October 2011

Pidato Steve Jobs di Stanford University

Rating:★★★★
Category:Other
** Pidato Steve Jobs pada acara wisuda Stanford University, AS. Pada tanggal 12 Juni 2005. **

“Saya merasa bangga di tengah-tengah Anda sekarang, yang akan segera lulus dari salah satu universitas terbaik di dunia. Saya tidak pernah lulus kuliah. Bahkan sesungguhnya inilah saat terdekat saya terlibat dalam upacara wisuda. Hari ini saya ingin berbagi cerita dalam kehidupan saya.

Cerita Pertama: Menghubungkan Titik-Titik

Saya putus kuliah dari Reed College setelah enam bulan pertama, namun saya tetap ada di kampus selama 18 bulan kemudian, sebelum benar-benar saya berhenti.

Mengapa saya DO? Kisahnya dimulai sebelum saya lahir. Ibu kandung saya adalah mahasiswi belia yang hamil karena “kecelakaan” dan memberikan saya kepada seseorang untuk diadopsi.Dia bertekad bahwa saya harus diadopsi oleh keluarga sarjana, maka saya pun diperjanjikan untuk dipungut anak semenjak lahir oleh seorang pengacara dan istrinya. Sialnya, begitu saya lahir, tiba-tiba mereka berubah pikiran ingin bayi perempuan.

Maka orang tua saya sekarang, yang ada di daftar urut berikutnya, mendapatkan telepon larut malam dari seseorang: “kami punya bayi laki-laki yang batal dipungut; apakah Anda berminat? Mereka menjawab: “Tentu saja.”

Ibu kandung saya lalu mengetahui bahwa ibu angkat saya tidak pernah lulus kuliah dan ayah angkat saya bahkan tidak tamat SMA. Dia menolak menandatangani perjanjian adopsi. Sikapnya baru melunak beberapa bulan kemudian, setelah orang tua saya berjanji akan menyekolahkan saya sampai perguruan tinggi. Dan, 17 tahun kemudian saya betul-betul kuliah.

Namun, dengan naifnya saya memilih universitas yang hampir sama mahalnya dengan Stanford, sehingga seluruh tabungan orang tua saya- yang hanya pegawai rendahan-habis untuk biaya kuliah. Setelah enam bulan, saya tidak melihat manfaatnya.

Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya dan bagaimana kuliah akan membantu saya menemukannya. Saya sudah menghabiskan seluruh tabungan yang dikumpulkan orang tua saya seumur hidup mereka.

Maka, saya pun memutuskan berhenti kuliah, yakin bahwa itu yang terbaik. Saat itu rasanya menakutkan, namun sekarang saya menganggapnya sebagai keputusan terbaik yang pernah saya ambil. Begitu DO, saya langsung berhenti mengambil kelas wajib yang tidak saya minati dan mulai mengikuti perkuliahan yang saya sukai.

Masa-masa itu tidak selalu menyenangkan. Saya tidak punya kamar kos sehingga nebeng tidur di lantai kamar teman-teman saya. Saya mengembalikan botol Coca-Cola agar dapat pengembalian 5 sen untuk membeli makanan. Saya berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapat makanan enak di biara Hare Krishna. Saya menikmatinya.

Dan banyak yang saya temui saat itu karena mengikuti rasa ingin tahu dan intuisi, ternyata kemudian sangat berharga.

Saya beri Anda satu contoh: Reed College mungkin waktu itu adalah yang terbaik di AS dalam hal kaligrafi. Di seluruh penjuru kampus, setiap poster, label, dan petunjuk ditulis tangan dengan sangat indahnya. Karena sudah DO, saya tidak harus mengikuti perkuliahan normal. Saya memutuskan mengikuti kelas kaligrafi guna mempelajarinya. Saya belajar jenis-jenis huruf serif dan san serif, membuat variasi spasi antar kombinasi kata dan kiat membuat tipografi yang hebat. Semua itu merupakan kombinasi cita rasa keindahan, sejarah dan seni yang tidak dapat ditangkap melalui sains. Sangat menakjubkan.

Saat itu sama sekali tidak terlihat manfaat kaligrafi bagi kehidupan saya. Namun sepuluh tahun kemudian, ketika kami mendisain komputer Macintosh yang pertama, ilmu itu sangat bermanfaat. Mac adalah komputer pertama yang bertipografi cantik.

Seandainya saya tidak DO dan mengambil kelas kaligrafi, Mac tidak akan memiliki sedemikian banyak huruf yang beragam bentuk dan proporsinya. Dan karena Windows menjiplak Mac, maka tidak ada PC yang seperti itu.

Andaikata saya tidak DO, saya tidak berkesempatan mengambil kelas kaligrafi, dan PC tidak memiliki tipografi yang indah. Tentu saja, tidak mungkin merangkai cerita seperti itu sewaktu saya masih kuliah. Namun, sepuluh tahun kemudian segala sesuatunya menjadi gamblang.

Sekali lagi, Anda tidak akan dapat merangkai titik dengan melihat ke depan; Anda hanya bisa melakukannya dengan merenung ke belakang.

Jadi, Anda harus percaya bahwa titik-titik Anda bagaimana pun akan terangkai di masa mendatang. Anda harus percaya dengan intuisi, takdir, jalan hidup, karma Anda, atau istilah apa pun lainnya. Pendekatan ini efektif dan membuat banyak perbedaan dalam kehidupan saya.

Cerita Kedua Saya: Cinta dan Kehilangan.

Saya beruntung karena tahu apa yang saya sukai sejak masih muda. Woz dan saya mengawali Apple di garasi orang tua saya ketika saya berumur 20 tahun. Kami bekerja keras dan dalam 10 tahun Apple berkembang dari hanya kami berdua menjadi perusahaan 2 milyar dolar dengan 4000 karyawan.

Kami baru meluncurkan produk terbaik kami-Macintosh- satu tahun sebelumnya, dan saya baru menginjak usia 30. Dan saya dipecat. Bagaimana mungkin Anda dipecat oleh perusahaan yang Anda dirikan? Yah, itulah yang terjadi.

Seiring pertumbuhan Apple, kami merekrut orang yang saya pikir sangat berkompeten untuk menjalankan perusahaan bersama saya. Dalam satu tahun pertama,semua berjalan lancar. Namun, kemudian muncul perbedaan dalam visi kami mengenai masa depan dan kami sulit disatukan. Komisaris ternyata berpihak padanya. Demikianlah, di usia 30 saya tertendang. Beritanya ada di mana-mana. Apa yang menjadi fokus sepanjang masa dewasa saya, tiba-tiba sirna. Sungguh menyakitkan. Dalam beberapa bulan kemudian, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan.

Saya merasa telah mengecewakan banyak wirausahawan generasi sebelumnya -saya gagal mengambil kesempatan. Saya bertemu dengan David Packard dan Bob Noyce dan meminta maaf atas keterpurukan saya. Saya menjadi tokoh publik yang gagal, dan bahkan berpikir untuk lari dari Silicon Valley.

Namun, sedikit demi sedikit semangat timbul kembali- saya masih menyukai pekerjaan saya. Apa yang terjadi di Apple sedikit pun tidak mengubah saya.

Saya telah ditolak, namun saya tetap cinta. Maka, saya putuskan untuk mulai lagi dari awal. Waktu itu saya tidak melihatnya, namun belakangan baru saya sadari bahwa dipecat dari Apple adalah kejadian terbaik yang menimpa saya. Beban berat sebagai orang sukses tergantikan oleh keleluasaan sebagai pemula, segala sesuatunya lebih tidak jelas.

Hal itu mengantarkan saya pada periode paling kreatif dalam hidup saya.

Dalam lima tahun berikutnya, saya mendirikan perusahaan bernama NeXT, lalu Pixar, dan jatuh cinta dengan wanita istimewa yang kemudian menjadi istri saya. Pixar bertumbuh menjadi perusahaan yang menciptakan film animasi komputer pertama, Toy Story, dan sekarang merupakan studio animasi paling sukses di dunia.

Melalui rangkaian peristiwa yang menakjubkan, Apple membeli NeXT, dan saya kembali lagi ke Apple, dan teknologi yang kami kembangkan di NeXT menjadi jantung bagi kebangkitan kembali Apple. Dan, Laurene dan saya memiliki keluarga yang luar biasa. Saya yakin takdir di atas tidak terjadi bila saya tidak dipecat dari Apple.

Obatnya memang pahit, namun sebagai pasien saya memerlukannya. Kadangkala kehidupan menimpakan batu ke kepala Anda. Jangan kehilangan kepercayaan.

Saya yakin bahwa satu-satunya yang membuat saya terus berusaha adalah karena saya menyukai apa yang saya lakukan. Anda harus menemukan apa yang Anda sukai. Itu berlaku baik untuk pekerjaan maupun pasangan hidup Anda. Pekerjaan Anda akan menghabiskan sebagian besar hidup Anda, dan kepuasan sejati hanya dapat diraih dengan mengerjakan sesuatu yang hebat. Dan Anda hanya bisa hebat bila mengerjakan apa yang Anda sukai.

Bila Anda belum menemukannya, teruslah mencari. Jangan menyerah. Hati Anda akan mengatakan bila Anda telah menemukannya.

Sebagaimana halnya dengan hubungan hebat lainnya, semakin lama-semakin mesra Anda dengannya. Jadi, teruslah mencari sampai ketemu. Jangan berhenti.

Cerita Ketiga Saya: Kematian

Ketika saya berumur 17, saya membaca ungkapan yang kurang lebih berbunyi: “Bila kamu menjalani hidup seolah-olah hari itu adalah hari terakhirmu, maka suatu hari kamu akan benar.” Ungkapan itu membekas dalam diri saya, dan semenjak saat itu, selama 33 tahun terakhir, saya selalu melihat ke cermin setiap pagi dan bertanya kepada diri sendiri:

“Bila ini adalah hari terakhir saya, apakah saya tetap melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini?”

Bila jawabannya selalu “tidak” dalam beberapa hari berturut-turut, saya tahu saya harus berubah.

Mengingat bahwa saya akan segera mati adalah kiat penting yang saya temukan untuk membantu membuat keputusan besar. Karena hampir segala sesuatu-semua harapan eksternal, kebanggaan, takut malu atau gagal-tidak lagi bermanfaat saat menghadapi kematian. Hanya yang hakiki yang tetap ada. Mengingat kematian adalah cara terbaik yang saya tahu untuk menghindari jebakan berpikir bahwa Anda akan kehilangan sesuatu. Anda tidak memiliki apa-apa. Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati Anda.

Sekitar setahun yang lalu saya didiagnosis mengidap kanker. Saya menjalani scan pukul 7:30 pagi dan hasilnya jelas menunjukkan saya memiliki tumor pankreas. Saya bahkan tidak tahu apa itu pankreas. Para dokter mengatakan kepada saya bahwa hampir pasti jenisnya adalah yang tidak dapat diobati. Harapan hidup saya tidak lebih dari 3-6 bulan.

Dokter menyarankan saya pulang ke rumah dan membereskan segala sesuatunya, yang merupakan sinyal dokter agar saya bersiap mati. Artinya, Anda harus menyampaikan kepada anak Anda dalam beberapa menit segala hal yang Anda rencanakan dalam sepuluh tahun mendatang.

Artinya, memastikan bahwa segalanya diatur agar mudah bagi keluarga Anda. Artinya, Anda harus mengucapkan selamat tinggal. Sepanjang hari itu saya menjalani hidup berdasarkan diagnosis tersebut. Malam harinya, mereka memasukkan endoskopi ke tenggorokan, lalu ke perut dan lambung, memasukkan jarum ke pankreas saya dan mengambil beberapa sel tumor.

Saya dibius, namun istri saya, yang ada di sana , mengatakan bahwa ketika melihat selnya di bawah mikroskop, para dokter menangis mengetahui bahwa jenisnya adalah kanker pankreas yang sangat jarang, namun bisa diatasi dengan operasi.

Saya dioperasi dan sehat sampai sekarang. Itu adalah rekor terdekat saya dengan kematian dan berharap terus begitu hingga beberapa dekade lagi. Setelah melalui pengalaman tersebut, sekarang saya bisa katakan dengan yakin kepada Anda bahwa menurut konsep pikiran, kematian adalah hal yang berguna:

Tidak ada orang yang ingin mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga pun tidak ingin mati dulu untuk mencapainya.

Namun, kematian pasti menghampiri kita. Tidak ada yang bisa mengelak. Dan, memang harus demikian, karena kematian adalah buah terbaik dari kehidupan. Kematian membuat hidup berputar. Dengannya maka yang tua menyingkir untuk digantikan yang muda. Maaf bila terlalu dramatis menyampaikannya, namun memang begitu.

Waktu Anda terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain.
Jangan terperangkap dengan dogma-yaitu hidup bersandar pada hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan omongan orang menulikan Anda sehingga tidak mendengar kata hati Anda.

Dan yang terpenting, miliki keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisi Anda, maka Anda pun akan sampai pada apa yang Anda inginkan.

Semua hal lainnya hanya nomor dua. Ketika saya masih muda, ada satu penerbitan hebat yang bernama “The Whole Earth Catalog”, yang menjadi salah satu buku pintar generasi saya. Buku itu diciptakan oleh seorang bernama Stewart Brand yang tinggal tidak jauh dari sini di Menlo Park , dan dia membuatnya sedemikian menarik dengan sentuhan puitisnya.

Waktu itu akhir 1960-an, sebelum era komputer dan desktop publishing, jadi semuanya dibuat dengan mesin ketik, gunting, dan kamera polaroid. Mungkin seperti Google dalam bentuk kertas, 35 tahun sebelum kelahiran Google: isinya padat dengan tips-tips ideal dan ungkapan-ungkapan hebat. Stewart dan timnya sempat menerbitkan beberapa edisi “The Whole Earth Catalog”, dan ketika mencapai titik ajalnya, mereka membuat edisi terakhir.

Saat itu pertengahan 1970-an dan saya masih seusia Anda. Di sampul belakang edisi terakhir itu ada satu foto jalan pedesaan di pagi hari, jenis yang mungkin Anda lalui jika suka bertualang. Di bawahnya ada kata-kata: “Stay Hungry. Stay Foolish.” (Tetaplah Lapar. Tetaplah Bodoh).

Itu adalah pesan perpisahan mereka sebelum mereka pergi. Dan saya selalu berharap hal itu untuk saya sendiri. Dan sekarang, kalian para lulusan baru, saya mengharapkan itu untuk kalian.”

Tetaplah Lapar. Tetaplah Bodoh.

Terima Kasih Banyak.

================== English Version ==========================

I am honored to be with you today at your commencement from one of the finest universities in the world. I never graduated from college. Truth be told, this is the closest I've ever gotten to a college graduation. Today I want to tell you three stories from my life. That's it. No big deal. Just three stories.

The first story is about connecting the dots.

I dropped out of Reed College after the first 6 months, but then stayed around as a drop-in for another 18 months or so before I really quit. So why did I drop out?

It started before I was born. My biological mother was a young, unwed college graduate student, and she decided to put me up for adoption. She felt very strongly that I should be adopted by college graduates, so everything was all set for me to be adopted at birth by a lawyer and his wife. Except that when I popped out they decided at the last minute that they really wanted a girl. So my parents, who were on a waiting list, got a call in the middle of the night asking: "We have an unexpected baby boy; do you want him?" They said: "Of course." My biological mother later found out that my mother had never graduated from college and that my father had never graduated from high school. She refused to sign the final adoption papers. She only relented a few months later when my parents promised that I would someday go to college.

And 17 years later I did go to college. But I naively chose a college that was almost as expensive as Stanford, and all of my working-class parents' savings were being spent on my college tuition. After six months, I couldn't see the value in it. I had no idea what I wanted to do with my life and no idea how college was going to help me figure it out. And here I was spending all of the money my parents had saved their entire life. So I decided to drop out and trust that it would all work out OK. It was pretty scary at the time, but looking back it was one of the best decisions I ever made. The minute I dropped out I could stop taking the required classes that didn't interest me, and begin dropping in on the ones that looked interesting.

It wasn't all romantic. I didn't have a dorm room, so I slept on the floor in friends' rooms, I returned coke bottles for the 5¢ deposits to buy food with, and I would walk the 7 miles across town every Sunday night to get one good meal a week at the Hare Krishna temple. I loved it. And much of what I stumbled into by following my curiosity and intuition turned out to be priceless later on. Let me give you one example:

Reed College at that time offered perhaps the best calligraphy instruction in the country. Throughout the campus every poster, every label on every drawer, was beautifully hand calligraphed. Because I had dropped out and didn't have to take the normal classes, I decided to take a calligraphy class to learn how to do this. I learned about serif and san serif typefaces, about varying the amount of space between different letter combinations, about what makes great typography great. It was beautiful, historical, artistically subtle in a way that science can't capture, and I found it fascinating.

None of this had even a hope of any practical application in my life. But ten years later, when we were designing the first Macintosh computer, it all came back to me. And we designed it all into the Mac. It was the first computer with beautiful typography. If I had never dropped in on that single course in college, the Mac would have never had multiple typefaces or proportionally spaced fonts. And since Windows just copied the Mac, it's likely that no personal computer would have them. If I had never dropped out, I would have never dropped in on this calligraphy class, and personal computers might not have the wonderful typography that they do. Of course it was impossible to connect the dots looking forward when I was in college. But it was very, very clear looking backwards ten years later.

Again, you can't connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards. So you have to trust that the dots will somehow connect in your future. You have to trust in something — your gut, destiny, life, karma, whatever. This approach has never let me down, and it has made all the difference in my life.

My second story is about love and loss.

I was lucky — I found what I loved to do early in life. Woz and I started Apple in my parents garage when I was 20. We worked hard, and in 10 years Apple had grown from just the two of us in a garage into a $2 billion company with over 4000 employees. We had just released our finest creation — the Macintosh — a year earlier, and I had just turned 30. And then I got fired. How can you get fired from a company you started? Well, as Apple grew we hired someone who I thought was very talented to run the company with me, and for the first year or so things went well. But then our visions of the future began to diverge and eventually we had a falling out. When we did, our Board of Directors sided with him. So at 30 I was out. And very publicly out. What had been the focus of my entire adult life was gone, and it was devastating.

I really didn't know what to do for a few months. I felt that I had let the previous generation of entrepreneurs down - that I had dropped the baton as it was being passed to me. I met with David Packard and Bob Noyce and tried to apologize for screwing up so badly. I was a very public failure, and I even thought about running away from the valley. But something slowly began to dawn on me — I still loved what I did. The turn of events at Apple had not changed that one bit. I had been rejected, but I was still in love. And so I decided to start over.

I didn't see it then, but it turned out that getting fired from Apple was the best thing that could have ever happened to me. The heaviness of being successful was replaced by the lightness of being a beginner again, less sure about everything. It freed me to enter one of the most creative periods of my life.

During the next five years, I started a company named NeXT, another company named Pixar, and fell in love with an amazing woman who would become my wife. Pixar went on to create the worlds first computer animated feature film, Toy Story, and is now the most successful animation studio in the world. In a remarkable turn of events, Apple bought NeXT, I returned to Apple, and the technology we developed at NeXT is at the heart of Apple's current renaissance. And Laurene and I have a wonderful family together.

I'm pretty sure none of this would have happened if I hadn't been fired from Apple. It was awful tasting medicine, but I guess the patient needed it. Sometimes life hits you in the head with a brick. Don't lose faith. I'm convinced that the only thing that kept me going was that I loved what I did. You've got to find what you love. And that is as true for your work as it is for your lovers. Your work is going to fill a large part of your life, and the only way to be truly satisfied is to do what you believe is great work. And the only way to do great work is to love what you do. If you haven't found it yet, keep looking. Don't settle. As with all matters of the heart, you'll know when you find it. And, like any great relationship, it just gets better and better as the years roll on. So keep looking until you find it. Don't settle.

My third story is about death.

When I was 17, I read a quote that went something like: "If you live each day as if it was your last, someday you'll most certainly be right." It made an impression on me, and since then, for the past 33 years, I have looked in the mirror every morning and asked myself: "If today were the last day of my life, would I want to do what I am about to do today?" And whenever the answer has been "No" for too many days in a row, I know I need to change something.

Remembering that I'll be dead soon is the most important tool I've ever encountered to help me make the big choices in life. Because almost everything — all external expectations, all pride, all fear of embarrassment or failure - these things just fall away in the face of death, leaving only what is truly important. Remembering that you are going to die is the best way I know to avoid the trap of thinking you have something to lose. You are already naked. There is no reason not to follow your heart.

About a year ago I was diagnosed with cancer. I had a scan at 7:30 in the morning, and it clearly showed a tumor on my pancreas. I didn't even know what a pancreas was. The doctors told me this was almost certainly a type of cancer that is incurable, and that I should expect to live no longer than three to six months. My doctor advised me to go home and get my affairs in order, which is doctor's code for prepare to die. It means to try to tell your kids everything you thought you'd have the next 10 years to tell them in just a few months. It means to make sure everything is buttoned up so that it will be as easy as possible for your family. It means to say your goodbyes.

I lived with that diagnosis all day. Later that evening I had a biopsy, where they stuck an endoscope down my throat, through my stomach and into my intestines, put a needle into my pancreas and got a few cells from the tumor. I was sedated, but my wife, who was there, told me that when they viewed the cells under a microscope the doctors started crying because it turned out to be a very rare form of pancreatic cancer that is curable with surgery. I had the surgery and I'm fine now.

This was the closest I've been to facing death, and I hope it's the closest I get for a few more decades. Having lived through it, I can now say this to you with a bit more certainty than when death was a useful but purely intellectual concept:

No one wants to die. Even people who want to go to heaven don't want to die to get there. And yet death is the destination we all share. No one has ever escaped it. And that is as it should be, because Death is very likely the single best invention of Life. It is Life's change agent. It clears out the old to make way for the new. Right now the new is you, but someday not too long from now, you will gradually become the old and be cleared away. Sorry to be so dramatic, but it is quite true.

Your time is limited, so don't waste it living someone else's life. Don't be trapped by dogma — which is living with the results of other people's thinking. Don't let the noise of others' opinions drown out your own inner voice. And most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary.

When I was young, there was an amazing publication called The Whole Earth Catalog, which was one of the bibles of my generation. It was created by a fellow named Stewart Brand not far from here in Menlo Park, and he brought it to life with his poetic touch. This was in the late 1960's, before personal computers and desktop publishing, so it was all made with typewriters, scissors, and polaroid cameras. It was sort of like Google in paperback form, 35 years before Google came along: it was idealistic, and overflowing with neat tools and great notions.

Stewart and his team put out several issues of The Whole Earth Catalog, and then when it had run its course, they put out a final issue. It was the mid-1970s, and I was your age. On the back cover of their final issue was a photograph of an early morning country road, the kind you might find yourself hitchhiking on if you were so adventurous. Beneath it were the words: "Stay Hungry. Stay Foolish." It was their farewell message as they signed off. Stay Hungry. Stay Foolish. And I have always wished that for myself. And now, as you graduate to begin anew, I wish that for you.

Stay Hungry. Stay Foolish.

Thank you all very much.

Friday 14 October 2011

Pidato Bill Gates di Harvard University

Rating:★★★★
Category:Other
** Pidato Bill Gates di acara Wisuda Mahasiswa Harvard University 7 Juni 2007 **

Presiden Bok, mantan presiden Rudenstine, presiden terpilih Faust, para anggota Harvard Corporation dan Dewan Pengawas, dosen-dosen, para orang tua dan khususnya mahasiswa yang lulus:

Saya telah menunggu lebih dari 30 tahun untuk mengatakan hal ini, “Ayah, saya selalu bilang bahwa saya akan kembali untuk mengambil gelar saya.”

Saya ingin berterimakasih ke Harvard untuk penghargaan yang diberikan tepat pada waktunya ini. Tahun depan saya akan memulai pekerjaan baru dan sangat senang untuk akhirnya bisa mencantumkan gelar universitas di resume saya.

Saya ingin mengucapkan selamat kepada semua yang lulus hari ini karena berhasil mendapat gelar kalian lewat cara yang langsung. Saya sendiri cukup senang ketika Crimson menjuluki saya sebagai “Harvard drop out yang paling sukses.” Sepertinya ini membuat saya peringkat pertama (valedictorian) angkatan yang spesial . . . saya yang terbaik di antara orang-orang yang gagal.

Tetapi saya juga mau dianggap sebagai orang yang membuat Steve Ballmer untuk drop out dari sekolah bisnis. Saya rupanya punya pengaruh yang buruk. Oleh karena itu saya diundang untuk berbicara pada acara wisuda kalian. Jika saya berbicara pada acara orientasi kalian, mungkin jumlah kalian jadi lebih sedikit hari ini.

Harvard merupakan pengalaman sangat fenomenal bagi saya. Kehidupan akademik sangat mempesona. Saya dulu suka ikut kuliah kelas-kelas yang tidak pernah saya daftar. Kehidupan asrama juga sangat menyenangkan. Ketika itu saya tinggal di Radcliffe, di Currier House. Selalu saja ada banyak orang di kamar saya mendiskusikan berbagai hal sampai larut malam, karena semua orang tahu saya tidak perlu khawatir untuk bangun di pagi hari. Begitu ceritanya yang membuat saya menjadi pemimpin grup anti sosial. Kami jadi bergantung satu sama lain sebagai suatu bentuk penolakan kami terhadap orang-orang sosial.

Radcliffe merupakan tempat yang sangat asyik untuk ditinggali. Ada banyak mahasiswi di sana dan kebanyakan merupakan tipe saintis-matematikawan. Kombinasi ini memberikan peluang yang terbaik bagi saya, jika anda mengerti apa yang saya maksud. Di sini saya mengambil pelajaran berharga bahwa memperbaiki peluang tidak memberikan jaminan sukses.

Salah satu ingatan terbesar saya tentang Harvard terjadi di bulan Januari 1975, ketika saya menelpon dari Currier House ke perusahaan di Albuquerque yang baru saja mulai membuat komputer pribadi. Saya menawarkan piranti lunak ke mereka.

Saya khawatir mereka akan sadar bahwa saya hanya seorang mahasiswa yang tingal di asrama dan akan menutup telpon. Tetapi ternyata mereka bilang “kami belum siap, coba hubungi kami lagi dalam sebulan,” yang ternyata merupakan suatu hal yang bagus, karena kami belum menulis software tersebut. Sejak saat itu, saya bekerja siang malam di projek ekstra kredit ini, yang menandai tamatnya pendidikan tinggi saya dan mulainya perjalanan luar biasa saya dengan Mircosoft.

Apa yang saya ingat di atas segalanya tentang Harvard adalah keberadaan saya di tengah-tengah energi dan inteligen yang luar biasa. Pengalaman ini bisa menyenangkan, menakutkan, kadang-kadang bahkan mematahkan semangat, tetapi selau menantang. Betul-betul merupakan kesempatan yang luar biasa—dan walaupun saya pergi meninggalkannya sangat cepat, saya telah terbentuk oleh pengalaman saya di Harvard, perkawanan yang saya ciptakan dan ide-ide yang saya kerjakan.

Tetapi melihat ke masa lalu secara serius . . . ada satu hal besar yang saya sesalkan.

Saya meinggalkan Harvard tanpa memiliki kesadaran mengenai kesenjangan buruk yang melanda dunia- ketimpangan antara kesehatan, dan kekayaan, dan kesempatan yang mengutuk jutaan manusia hidup dalam keputusasaan.

Saya belajar banyak di Harvard mengenai ide-ide baru di bidang ekonomi dan politik. Saya terkekspos banyak terhadap kemajuan-kemajuan di bidang sains.

Tetapi pencapaian terbesar kemanusiaan bukanlah pada penemuan-penemuannya—melainkan bagaimana penemuan-penemuan tersebut digunakan untuk mengurangi kesenjangan. Baik itu lewat demokrasi, pendidikan publik yang kuat, kesehatan yang berkualitas maupun kesempatan ekonomi yang luas—mengurangi ketimpangan merupakan keberhasilan tertinggi umat manusia.

Saya meninggalkan kampus tanpa banyak tahu tentang jutaan orang muda yang tercurangi oleh kesempatan mengeyam pendidikan di negara ini. Dan saya tidak tahu apa-apa mengenai jutaan orang yang hidup dalam jeratan kemiskinan dan penyakit di negara-negara berkembang.

Perlu puluhan tahun untuk membuat saya sadar.

Kalian datang ke Harvard pada era yang sangat berbeda. Kalian tahu mengenai ketimpangan dunia ketimbang para lulusan yang datang sebelum kalian. Dalam waktu kalian di sini, saya harap kalian memiliki kesempatan untuk memikirkan bagaimana—dalam era kemajuan teknologi yang pesat—kita dapat memecahkan masalah ketimpangan-ketimpangan ini.

Bayangkan, katakanlah untuk sekedar diskusi, kalian punya ekstra waktu setiap minggu dan beberapa dolar lebih dalam sebulan untuk disumbangkan pada hal tertentu—dan kalian ingin menghabiskan waktu dan uang tersebut untuk suatu hal yang memiliki hasil yang terbesar dalam menyelematkan dan meningkatkan hidup orang banyak. Dimana kalian ingin menghabiskannya?
Bagi Melinda dan saya, tantangannya sama: bagaimana kami bisa melakukan suatu hal yang baik dalam jumlah besar dengan sumber yang kami miliki.

Ketika berdiskusi soal ini, Melinda dan saya membaca sebuat artikel mengenai jutaan anak-anak yang melarat kesakitan di negara-negara miskin dari penyakit-penyakit yang lama telah kita basmi di negara ini. Measles, malaria, pneumonia, hepatitis B, yellow fever. Satu penyakit yang tidak pernah saya dengar sebelumnya, rotavirus, membunuh setengah juta anak-anak setiap tahun—tidak satupun dari mereka di Amerika Serikat.

Kami sangat terkejut. Kami sebelumnya berasumsi jika jutaan anak-anak melarat kesakitan dan mereka bisa ditolong, dunia akan memprioritaskan penemuan dan penyebaran obat-obatan untuk membantu mereka. Tetapi ini tidak terjadi. Untuk kurang dari satu dolar, ada beberapa intervensi yang dapat menyelamatkan jiwa tetapi tidak disalurkan.

Jika anda percaya bahwa setiap kehidupan memiliki harga yang sama, sangat mengusik hati untuk menyadari bahwa beberapa jiwa dilihat penting untuk diselamatkan, sedangkan beberapa yang lain tidak. Kami akhirnya bilang kepada diri kami: “Tidak mungkin begini kenyataannya. Tetapi jika ini benar, maka ini harus jadi prioritas kedermawanan kami.”

Jadi kami mulai usaha kami dengan cara yang sama dengan setiap orang yang ada di sini memulai sesuatu. Kami bertanya: “Bagaimana sampai dunia membiarkan anak-anak ini meninggal?”

Jawabannya mudah, dan kejam. Pasar tidak memberikan apa-apa dengan menolong anak-anak ini, dan pemerintahan tidak mensubsidinya. Jadi banyak anak meninggal karena ibu-ibu dan bapak-bapak mereka tidak memiliki kekuasaan di pasar dan tidak memiliki suara di sistem ini.

Tetapi kalian dan saya memiliki keduanya.

Kita dapat membuat kekuatan-kekuatan pasar bekerja lebih baik untuk orang-orang miskin jika kita dapat mengembangkan kapitalisme yang lebih kreatif—jika kita dapat memperpanjang jangkauan kekuatan-kekuatan pasar sehingga lebih banyak orang dapat mengambil untung, atau setidaknya dapat mencari nafkah dengan memberikan pelayanan kepada orang-orang yang dilanda ketimpangan terburuk. Kita juga bisa menekan pemerintahan di segala penjuru dunia untuk membelanjakan uang pajak rakyatnya dengan cara-cara yang lebih sesuai dengan nilai-nilai orang-orang yang membayar pajak tersebut.

Jika kita dapat menemukan berbagai cara yang dapat membantu orang-orang miskin sehingga dapat menghasilkan untung bagi bisnis dan suara bagi politisi, kita akan dapat menemukan cara yang sustainable untuk mengurangi ketimpangan-ketimpangan dunia. Kerjaan ini tidak akan pernah selesai. Tetapi usaha yang serius untuk menjawab tantangan ini akan merubah dunia.

Saya optimis kita bisa melakukan hal ini, tetapi saya juga bicara denga para skeptik yang mengklaim bahwa tidak ada harapan. Mereka bilang: “Ketimpangan telah ada dengan kita sejak dari awal, dan akan ada bersama kita sampai akhir jaman—karena orang-orang . . . tidak . . . peduli.” Saya sama sekali tidak setuju.

Saya percaya kita memiliki kedermawanan yang lebih banyak dari apa yang bisa kita perbuat dengan kedermawanan tersebut.

Kita semua di Halaman (Harvard Yard) ini, pada satu saat atau lainnya, telah melihat tragedi kemanusiaan yang menyanyat hati, tetapi kita tidak melakukan apa-apa—bukan karena kita tidak peduli, tetapi karena kita tidak tahu harus berbuat apa-apa. Kalau kita tau bagaimana menolong, pasti kita akan bertindak.

Halangan untuk berubah bukanlah ketidakpedulian, melainkan karena terlalu banyak kompleksitas.

Untuk merubah kepedulian menjadi aksi, kita perlu melihat suatu masalah, solusinya dan hasil dari solusi tersebut. Tetapi kompleksitas memblokir ketiga langkah tersebut.

Walaupun dengan adanya internet dan beita 24 jam, tetap saja merupakan usaha yang sangat rumit untuk membuat orang-orang melihat masalah-masalah yang sebenarnya. Ketika pesawat jatuh, para pejabat seketika memanggil konferensi pers. Mereka berjanji untuk menginvestigasi, mencari penyebabnya dan menghindari kecelakaan yang sama di masa depan.

Tetapi jika para pejabat benar-benar mau jujur, mereka akan bilang, “ Dari semua orang di dunia ini dari hal-hal yang bisa dihindari, setengah persen dari mereka adalah penumpang pesawat ini. Kami akan melakukan semua usaha untuk memecahkan masalah yang merengut jiwa setengah persen.”

Masalah yang lebih besar bukanlah pesawat jatuh, tetapi jutaan kematian yang bisa dihindari.

Kita tidak banyak membaca soal kematian-kematian ini. Media hanya meliput hal-hal yang baru—dan jutaan orang meninggal bukanlah hal yang baru. Jadi berita ini hanya mengendap di belakang, dimana lebih mudah untuk tidak diperhatikan sama sekali. Tetapi ketika kita melihat atau membacanya, sulit untuk tetap memusatkan perhatian kita pada masalah ini. Sangat pelik untuk melihat penderitaan jika situasinya sangat kompleks sehingga kita tidak tahu bagaimana mau menolong. Dan jadinya kita berpaling muka.

Jika kita benar-benar dapat melihat masalahnya, yang merupakan langkah pertama, kita dihadapkan pada langkah kedua: mengurai benang kusut untuk menemukan solusi.

Menemukan solusi sangat penting jka kita ingin benar-benar menggunakan kepedulian kita secara maksimal. Jika kita memiliki jawaban-jawaban yang jelas dan teruji setiap kali sebuah organisasi atau individu bertanya “Bagaimana saya bisa bantu?”, makan kita dapat bertindak—kita dapat memastikan tidak ada satupun kepedulian di dunia ini yang terbuang sia-sia. Tetapi kompleksitas menjadikannya sangat sulit untuk membuat telusuran tindakan bagi orang-orang yang peduli—dan ini membuat kepedulian mereka menjadi sangat sulit.

Menerobos kompleksitas untuk mencari solusi harus melewati empat langkah yang bisa diramalkan: rumuskan suatu tujuan, cari pendekatan yang menggunakan daya pengungkit yang tinggi, temukan teknologi ideal untuk pendekatan tersebut, dan untuk saat ini, gunakan teknologi yang sudah ada secara cerdik—baik itu yang mutakhir seperti obat-obatan, atau yang lebih sederhana seperti kelambu.

Epidemik AIDS dapat dijadikan contoh. Tujuan yang luasnya, tentu saja, untuk memusnahkan penyakit ini. Pendekatan dengan daya ungkit yang tinggi adalah penghindaran. Teknologi ideal adalah vaksin yang memberikan imunitas sepanjang hidup dengan satu dosis. Jadi pemerintah, perusahaan farmasi, dan yayasan mendanai riset vaksin. Tetapi hasil kerja mereka biasanya akan makan waktu puluhan tahun, jadi saat ini, kita harus bekerja dengan apa yang kita miliki—dan cara preventif yang paling baik yang kita miliki saat ini adalah untuk menyerukan kepada orang-orang untuk menghindari tingkah laku yang beresiko.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu siklus empat-langkah lagi. Ini polanya. Yang paling penting adalah untuk tidak pernah berhenti berpikir dan bekerja—dan jangan pernah melakukan apa yang kita pernah lakukan terhadap malaria dan tuberculosis di abad ke-20—yaitu menyerah kepada kompleksitas.

Langkah terakhir—setelah melihat masalah dan menemukan suatu pendekatan—adalah untuk mengukur hasil dari kerja kalian dan membagi kesuksesan dan ketidakberhasilan sehingga orang lain dapat belajar dari usaha-usaha kalian.

Tentu anda perlu statistik. Anda harus dapat menunjukkan bahwa suatu program adalah untuk memvaksinasi jutaan anak-anak. Anda harus dapat menunjukkan pengurangan jumlah anak-anak yang meninggal dari berbagai penyakit ini. Hal ini sangat esensial bukan saja untuk memperbaiki program tersebut, tapi juga untuk mendapatkan investasi dari bisnis dan pemerintah.

Tapi jika kalian ingin memberikan inspirasi bagi orang-orang untuk berkecimpung, kalian harus dapat menunjukkan lebih dari angka-angka; kalian harus dapat menyalurkan sisi kemanusiaan dari hasil usaha kalian—sehingga orang-orang dapat merasakan apa artinya menyelamatkan jiwa bagi keluarga yang bersangkutan.

Saya ingat pergi ke Davos beberapa tahun lalu dan duduk di panel kesehatan dunia yang mendiskusikan berbagai cara menyelematkan jutaan jiwa. Jutaan! Coba pikir perasaan yang dialami menyelamatkan satu jiwa saja—lantas kalikan dengan jutaan . . . Sayangnya panel ini merupakan panel yang paling membosankan yang pernah saya hadiri. Sangat jenuhnya saya sendiri tidak tahan.

Apa yang membuat pengalaman itu benar-benar beda adalah sebelum ke sana, saya baru saja menghadiri acara dimana kami memperkenalkan versi ke-13 sebuah piranti lunak, dan kita melihat orang-orang meloncat dan teriak kegirangan. Saya senang sekali membuat orang meloncat kegirangan tentang software—tetapi kenapa kita tidak bisa menghasilkan kegembiraan yang lebih besar untuk menolong jiwa orang?

Anda tidak dapat membuat orang meloncat kegirangan kecuali anda dapat menolong mereka melihat dan merasakan hasilnya. Dan bagaimana caranya itu—merupakan problem yang kompleks.

Walau begitu, saya tetap optimis. Memang betul, ketimpangan telah berada bersama kita sejak dulu, tetapi peralatan yang kita miliki yang dapat dipakai untuk menerobos kompleksitas baru-baru saja muncul. Alat-alat baru ini—mereka dapat membantu kita memaksimalkan bentuk kepedulian kita—dan ini yang dapat membuat masa depan bisa berbeda dari masa lalu.

Inovasi-inovasi penting dan yang masih terus berlanjut saat ini—bioteknologi, komputer, internet—memberikan kita kesempatan yang tidak pernah kita miliki sebelumnya untuk membasmi kemiskinan akut dan menghentikan kematian dari penyakit yang bisa dihindari.

Enam puluh tahun lalu, George Marshall datang ke acara wisuda ini dan mengumumkan sebuah rencana untuk membantu bangsa-bangsa Eropa pasca perang. Dia bilang: “Saya pikir salah satu kesulitannya adalah masalah ini merupakan suatu yang sangat kompleks sehingga jumlah fakta-fakta yang diberikan ke publik oleh pers dan radio membuatnya sangat sulit untuk orang biasa di jalanan untuk mengerti situasinya secara jelas. Hampir mustahil pada jarak ini untuk dapat mengerti pentingnya situasi ini.”

Tiga puluh tahun setelah Marshall memberikan pidatonya, pada saat teman-teman sekelas saya lulus tanpa saya, teknologi baru mulai muncul yang dapat membuat dunia menjadi lebih kecil, lebih terbuka dan berkurang jaraknya.

Munculnya komputer pribadi yang murah harganya menumbuhkan jaringan kuat yang telah merubah kesempatan untuk belajar dan berkomunikasi.

Hal yang paling ajaib dari jaringan ini bukan hanya ia mengurangi jarak dan membuat setiap orang bertetangga dengan yang lainnya. Ia juga menambah jumlah otak-otak cemerlang yang dapat berkolaborasi memecahkan masalah yang sama—dan ini meningkatkan skala jumlah inovasi yang dikeluarkan beberapa derajat.

Pada saat yang bersamaan, untuk setiap orang di dunia yang memiliki akses ke teknologi ini, lima orang tidak punya akses. Ini artinya banyak otak-otak yang kreatif tidak dapat ikut serta dalam diskusi ini—orang-orang pandai dengan ilmu praktikal dan pengalaman yang berhubungan yang tidak memiliki teknologi untuk mengasah bakat mereka atau menyumbang ide-ide mereka ke seluruh penjuru dunia.

Kita perlu sebanyak-banyaknya orang yang dapat mengakses teknologi ini, karena kemajuan ini dapat memicu revolusi dalam apa yang dapat diperbuat oleh manusia untuk satu sama lain. Kemajuan-kemajuan teknologi ini juga dapat membuat bukan hanya pemerintah, tetapi universitas, perusahaan, organisasi yang lebih kecil dan bahkan individu untuk melihat masalah, melihat solusi, dan mengukur hasil kerja usaha mereka untuk mengatasi kelaparan, kemiskinan, dan kemeleratan yang George Marshall bicarakan 60 tahun lalu.

Para anggota keluarga Harvard: Di Halaman ini merupakan koleksi besar talenta intelektual di dunia.

Untuk apa?

Tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa para pengajar, dekan, alumni, mahasiswa dan penyokong Harvard telah menggunakan kekuasaan mereka untuk memperbaiki kehidupan banyak orang di sini dan di dunia. Tetapi apakah kita dapat berbuat lebih banyak? Dapatkan Harvard mendedikasikan intelektualitasnya untuk memperbaiki kehidupan orang-orang yang tidak akan pernah mendengar nama universitas ini?

Ijinkan saya mengajukan permintaan kepada para dekan dan profesor—pemimpin intelektual di Harvard. Ketika anda merekrut profesor, memberikan tenure, mengulas kurikulum dan menentukan syarat kelulusan, tolong tanya diri anda:

Apakah otak-otak terbaik kita perlu didedikasikan untuk memecahkan masalah-masalah terbesar?

Apakah Harvard harus mendorong para dosennya untuk memecahkan ketimpangan-ketimpangan dunia? Apakah mahasiswa Harvard perlu belajar tingkat kedalaman kemiskinan global . . . meluasnya kelaparan dunia . . . kurangnya air bersih . . . anak-anak perempuan yang tidak diberikan kesempatan bersekolah . . . anak-anak yang meninggal karena penyakit-penyakit yang kita dapat sembuhkan?

Apakah orang-orang yang memiliki hak istimewa terbesar di dunia perlu belajar tentang kehidupan orang-orang yang tidak memiliki kesempatan yang sama di dunia?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan retorikal—kalian akan menjawabnya dengan kebijakan-kebijakan kalian.

Ibu saya, yang sangat bangga ketika saya diterima oleh Harvard—tidak pernah berhenti mendorong saya untuk berbuat lebih banyak untuk yang lain. Beberapa hari sebelum hari pernikahan saya, dia mengundang orang-orang dimana dia membacakan keras-keras semua surat yang dia telah kirim ke Melindad tentang pernikahan. Ibu saya menderita kanker saat itu, tetapi dia melihat satu kesempatan lagi untuk menyebarkan lagi pesan dia, dan di akhir surat dia berujar: “Dari mereka yang telah menerima banyak, banyak yang diharapkan.”

Ketika kalian yang berada di Halaman ini memikirkan apa saja yang telah kita dapat—dalam talenta, hak istimewa dan kesempatan—hampir tidak ada batas dari apa yang dunia berhak harapkan dari kita.

Sejalan dengan janji-janji yang ada pada jaman ini, saya ingin mendesak setiap yang lulus hari ini untuk mendalami satu isu—suatu problem yang kompleks, suatu ketimpangan yang mendalam, dan menjadi seorang spesialis dalam hal itu. Kalau anda dapat menjadikannya sebagai fokus karir anda, fantastik. Tapi anda tidak perlu melakukan hal itu untuk membuahkan hasil. Anda dapat menggunakan internet beberapa jam setiap minggu untuk belajar, menemukan orang-orang lain dengan ketertarikan pada hal yang sama, melihat rintangan, dan menemukan cara untuk menerobos rintangan tersebut.

Jangan biarkan kompleksitas menahan anda. Jadilah seorang aktivis. Pecahkan masalah ketimpangan yang besar. Ini akan menjadi pengalaman paling berharga dalam hidup kalian.

Kalian tumbuh besar dalam era yang menakjubkan. Ketika kalian meinggalkan Harvard, kalian memiliki teknologi yang tidak dimiliki oleh para anggota angkatan saya. Kalian mengetahui soal ketimpangan dunia, yang kami dulu tidak tahu. Dan dengan pengetahuan tersebut, kalian juga memiliki suara batin yang akan menyiksa kalian jika kalian tidak memperdulikan orang-orang ini yang hidupnya bisa kalian rubah dengan usaha yang kecil. Kalian memiliki lebih banyak dari apa yang kami miliki; kalian harus memulainya lebih dulu dan melakukannya lebih lama.

Dengan apa yang kalian ketahui, bagaimana kalian tidak melakukannya?

Dan saya harap kalian akan kembali ke Harvard 30 tahun mendatang dan merenungkan apa yang kalian telah lakukan dengan bakat dan energi kalian. Saya harap kalian tidak mengukur prestasi kalian hanya dengan keberhasilan karir kalian, tapi juga dari apa yang telah kalian lakukan untuk mengatasi ketimpangan dunia yang paling dalam . . . dari perlakuan yang kalian berikan pada orang-orang yang tinggal di seberang lautan yang tidak memeliki kesamaan apapun dengan kalian kecuali nilai kemanusiaan mereka.

Selamat.

============= English Version ============

** Microsoft chairman Bill Gates delivers the Commencement address
at Harvard University in Cambridge, Massachusetts. **

President Bok, former President Rudenstine, incoming President Faust, members of the Harvard Corporation and the Board of Overseers, members of the faculty, parents, and especially, the graduates:

I’ve been waiting more than 30 years to say this: “Dad, I always told you I’d come back and get my degree.”

I want to thank Harvard for this timely honor. I’ll be changing my job next year … and it will be nice to finally have a college degree on my résumé.

I applaud the graduates today for taking a much more direct route to your degrees. For my part, I’m just happy that the Crimson has called me “Harvard’s most successful dropout.” I guess that makes me valedictorian of my own special class … I did the best of everyone who failed.

But I also want to be recognized as the guy who got Steve Ballmer to drop out of business school. I’m a bad influence. That’s why I was invited to speak at your graduation. If I had spoken at your orientation, fewer of you might be here today.

Harvard was just a phenomenal experience for me. Academic life was fascinating. I used to sit in on lots of classes I hadn’t even signed up for. And dorm life was terrific. I lived up at Radcliffe, in Currier House. There were always lots of people in my dorm room late at night discussing things, because everyone knew I didn’t worry about getting up in the morning. That’s how I came to be the leader of the antisocial group. We clung to each other as a way of validating our rejection of all those social people.

Radcliffe was a great place to live. There were more women up there, and most of the guys were science-math types. That combination offered me the best odds, if you know what I mean. This is where I learned the sad lesson that improving your odds doesn’t guarantee success.

One of my biggest memories of Harvard came in January 1975, when I made a call from Currier House to a company in Albuquerque that had begun making the world’s first personal computers. I offered to sell them software.

I worried that they would realize I was just a student in a dorm and hang up on me. Instead they said: “We’re not quite ready, come see us in a month,” which was a good thing, because we hadn’t written the software yet. From that moment, I worked day and night on this little extra credit project that marked the end of my college education and the beginning of a remarkable journey with Microsoft.

What I remember above all about Harvard was being in the midst of so much energy and intelligence. It could be exhilarating, intimidating, sometimes even discouraging, but always challenging. It was an amazing privilege – and though I left early, I was transformed by my years at Harvard, the friendships I made, and the ideas I worked on.

But taking a serious look back … I do have one big regret.

I left Harvard with no real awareness of the awful inequities in the world – the appalling disparities of health, and wealth, and opportunity that condemn millions of people to lives of despair.

I learned a lot here at Harvard about new ideas in economics and politics. I got great exposure to the advances being made in the sciences.

But humanity’s greatest advances are not in its discoveries – but in how those discoveries are applied to reduce inequity. Whether through democracy, strong public education, quality health care, or broad economic opportunity – reducing inequity is the highest human achievement.

I left campus knowing little about the millions of young people cheated out of educational opportunities here in this country. And I knew nothing about the millions of people living in unspeakable poverty and disease in developing countries.

It took me decades to find out.

You graduates came to Harvard at a different time. You know more about the world’s inequities than the classes that came before. In your years here, I hope you’ve had a chance to think about how – in this age of accelerating technology – we can finally take on these inequities, and we can solve them.

Imagine, just for the sake of discussion, that you had a few hours a week and a few dollars a month to donate to a cause – and you wanted to spend that time and money where it would have the greatest impact in saving and improving lives. Where would you spend it?

For Melinda and for me, the challenge is the same: how can we do the most good for the greatest number with the resources we have.

During our discussions on this question, Melinda and I read an article about the millions of children who were dying every year in poor countries from diseases that we had long ago made harmless in this country. Measles, malaria, pneumonia, hepatitis B, yellow fever. One disease I had never even heard of, rotavirus, was killing half a million kids each year – none of them in the United States.

We were shocked. We had just assumed that if millions of children were dying and they could be saved, the world would make it a priority to discover and deliver the medicines to save them. But it did not. For under a dollar, there were interventions that could save lives that just weren’t being delivered.

If you believe that every life has equal value, it’s revolting to learn that some lives are seen as worth saving and others are not. We said to ourselves: “This can’t be true. But if it is true, it deserves to be the priority of our giving.”

So we began our work in the same way anyone here would begin it. We asked: “How could the world let these children die?”

The answer is simple, and harsh. The market did not reward saving the lives of these children, and governments did not subsidize it. So the children died because their mothers and their fathers had no power in the market and no voice in the system.

But you and I have both.

We can make market forces work better for the poor if we can develop a more creative capitalism – if we can stretch the reach of market forces so that more people can make a profit, or at least make a living, serving people who are suffering from the worst inequities. We also can press governments around the world to spend taxpayer money in ways that better reflect the values of the people who pay the taxes.

If we can find approaches that meet the needs of the poor in ways that generate profits for business and votes for politicians, we will have found a sustainable way to reduce inequity in the world. This task is open-ended. It can never be finished. But a conscious effort to answer this challenge will change the world.

I am optimistic that we can do this, but I talk to skeptics who claim there is no hope. They say: “Inequity has been with us since the beginning, and will be with us till the end – because people just … don’t … care.” I completely disagree.

I believe we have more caring than we know what to do with.

All of us here in this Yard, at one time or another, have seen human tragedies that broke our hearts, and yet we did nothing – not because we didn’t care, but because we didn’t know what to do. If we had known how to help, we would have acted.

The barrier to change is not too little caring; it is too much complexity.

To turn caring into action, we need to see a problem, see a solution, and see the impact. But complexity blocks all three steps.

Even with the advent of the Internet and 24-hour news, it is still a complex enterprise to get people to truly see the problems. When an airplane crashes, officials immediately call a press conference. They promise to investigate, determine the cause, and prevent similar crashes in the future.

But if the officials were brutally honest, they would say: “Of all the people in the world who died today from preventable causes, one half of one percent of them were on this plane. We’re determined to do everything possible to solve the problem that took the lives of the one half of one percent.”

The bigger problem is not the plane crash, but the millions of preventable deaths.

We don’t read much about these deaths. The media covers what’s new – and millions of people dying is nothing new. So it stays in the background, where it’s easier to ignore. But even when we do see it or read about it, it’s difficult to keep our eyes on the problem. It’s hard to look at suffering if the situation is so complex that we don’t know how to help. And so we look away.

If we can really see a problem, which is the first step, we come to the second step: cutting through the complexity to find a solution.

Finding solutions is essential if we want to make the most of our caring. If we have clear and proven answers anytime an organization or individual asks “How can I help?,” then we can get action – and we can make sure that none of the caring in the world is wasted. But complexity makes it hard to mark a path of action for everyone who cares — and that makes it hard for their caring to matter.

Cutting through complexity to find a solution runs through four predictable stages: determine a goal, find the highest-leverage approach, discover the ideal technology for that approach, and in the meantime, make the smartest application of the technology that you already have — whether it’s something sophisticated, like a drug, or something simpler, like a bednet.

The AIDS epidemic offers an example. The broad goal, of course, is to end the disease. The highest-leverage approach is prevention. The ideal technology would be a vaccine that gives lifetime immunity with a single dose. So governments, drug companies, and foundations fund vaccine research. But their work is likely to take more than a decade, so in the meantime, we have to work with what we have in hand – and the best prevention approach we have now is getting people to avoid risky behavior.

Pursuing that goal starts the four-step cycle again. This is the pattern. The crucial thing is to never stop thinking and working – and never do what we did with malaria and tuberculosis in the 20th century – which is to surrender to complexity and quit.

The final step – after seeing the problem and finding an approach – is to measure the impact of your work and share your successes and failures so that others learn from your efforts.

You have to have the statistics, of course. You have to be able to show that a program is vaccinating millions more children. You have to be able to show a decline in the number of children dying from these diseases. This is essential not just to improve the program, but also to help draw more investment from business and government.

But if you want to inspire people to participate, you have to show more than numbers; you have to convey the human impact of the work – so people can feel what saving a life means to the families affected.

I remember going to Davos some years back and sitting on a global health panel that was discussing ways to save millions of lives. Millions! Think of the thrill of saving just one person’s life – then multiply that by millions. … Yet this was the most boring panel I’ve ever been on – ever. So boring even I couldn’t bear it.

What made that experience especially striking was that I had just come from an event where we were introducing version 13 of some piece of software, and we had people jumping and shouting with excitement. I love getting people excited about software – but why can’t we generate even more excitement for saving lives?

You can’t get people excited unless you can help them see and feel the impact. And how you do that – is a complex question.

Still, I’m optimistic. Yes, inequity has been with us forever, but the new tools we have to cut through complexity have not been with us forever. They are new – they can help us make the most of our caring – and that’s why the future can be different from the past.

The defining and ongoing innovations of this age – biotechnology, the computer, the Internet – give us a chance we’ve never had before to end extreme poverty and end death from preventable disease.

Sixty years ago, George Marshall came to this commencement and announced a plan to assist the nations of post-war Europe. He said: “I think one difficulty is that the problem is one of such enormous complexity that the very mass of facts presented to the public by press and radio make it exceedingly difficult for the man in the street to reach a clear appraisement of the situation. It is virtually impossible at this distance to grasp at all the real significance of the situation.”

Thirty years after Marshall made his address, as my class graduated without me, technology was emerging that would make the world smaller, more open, more visible, less distant.

The emergence of low-cost personal computers gave rise to a powerful network that has transformed opportunities for learning and communicating.

The magical thing about this network is not just that it collapses distance and makes everyone your neighbor. It also dramatically increases the number of brilliant minds we can have working together on the same problem – and that scales up the rate of innovation to a staggering degree.

At the same time, for every person in the world who has access to this technology, five people don’t. That means many creative minds are left out of this discussion — smart people with practical intelligence and relevant experience who don’t have the technology to hone their talents or contribute their ideas to the world.

We need as many people as possible to have access to this technology, because these advances are triggering a revolution in what human beings can do for one another. They are making it possible not just for national governments, but for universities, corporations, smaller organizations, and even individuals to see problems, see approaches, and measure the impact of their efforts to address the hunger, poverty, and desperation George Marshall spoke of 60 years ago.

Members of the Harvard Family: Here in the Yard is one of the great collections of intellectual talent in the world.

What for?

There is no question that the faculty, the alumni, the students, and the benefactors of Harvard have used their power to improve the lives of people here and around the world. But can we do more? Can Harvard dedicate its intellect to improving the lives of people who will never even hear its name?

Let me make a request of the deans and the professors – the intellectual leaders here at Harvard: As you hire new faculty, award tenure, review curriculum, and determine degree requirements, please ask yourselves:

Should our best minds be dedicated to solving our biggest problems?

Should Harvard encourage its faculty to take on the world’s worst inequities? Should Harvard students learn about the depth of global poverty … the prevalence of world hunger … the scarcity of clean water …the girls kept out of school … the children who die from diseases we can cure?

Should the world’s most privileged people learn about the lives of the world’s least privileged?

These are not rhetorical questions – you will answer with your policies.

My mother, who was filled with pride the day I was admitted here – never stopped pressing me to do more for others. A few days before my wedding, she hosted a bridal event, at which she read aloud a letter about marriage that she had written to Melinda. My mother was very ill with cancer at the time, but she saw one more opportunity to deliver her message, and at the close of the letter she said: “From those to whom much is given, much is expected.”

When you consider what those of us here in this Yard have been given – in talent, privilege, and opportunity – there is almost no limit to what the world has a right to expect from us.

In line with the promise of this age, I want to exhort each of the graduates here to take on an issue – a complex problem, a deep inequity, and become a specialist on it. If you make it the focus of your career, that would be phenomenal. But you don’t have to do that to make an impact. For a few hours every week, you can use the growing power of the Internet to get informed, find others with the same interests, see the barriers, and find ways to cut through them.

Don’t let complexity stop you. Be activists. Take on the big inequities. It will be one of the great experiences of your lives.

You graduates are coming of age in an amazing time. As you leave Harvard, you have technology that members of my class never had. You have awareness of global inequity, which we did not have. And with that awareness, you likely also have an informed conscience that will torment you if you abandon these people whose lives you could change with very little effort. You have more than we had; you must start sooner, and carry on longer.

Knowing what you know, how could you not?

And I hope you will come back here to Harvard 30 years from now and reflect on what you have done with your talent and your energy. I hope you will judge yourselves not on your professional accomplishments alone, but also on how well you have addressed the world’s deepest inequities … on how well you treated people a world away who have nothing in common with you but their humanity.

Good luck.