Tuesday 27 July 2010

Harapan untuk sebuah keadilan


Pagi yang cerah untuk jalan-jalan ke galeri nasional. Niat awalnya sih mau lihat pameran lukisan... tapi ada yang membuat saya lebih terkesan dibanding lukisan-lukisan indah tersebut... memang tidak indah namun maknanya sangat dalam, hingga membuat saya berdiri cukup lama disana, karena melihat tulisan ini:

Sebuah tulisan sederhana. Mungkin sang penulis sudah tidak tahu lagi harus menyampaikan kemana aspirasinya, hingga akhirnya ia memilih untuk menempelkan aspirasinya pada tembok di jalan medan merdeka ini... walaupun pasti mengotori tembok. Tapi menurutnya kehidupan yang diperjuangkan lebih besar dari itu semua...

Menyedihkan... melihat beberapa kasus janda-janda pahlawan dan veteran Indonesia yang dimunculkan di TV beberapa saat lalu... seakan negara tidak peduli dengan kehidupan mereka. Negara hanya memberikan tanda jasa (yang tak dapat dimakan) juga uang bulanan dalam jumlah yang minim, bahakan tidak rutin dibayarkan... gimana gak bikin miris??
Melihat tulisan ini juga mengingatkan saya pada catatan Asvi W. Adam (Sejarahwan LIPI)

The story is... Sore itu dalam pinggiran jalan protokol cuaca cukup cerah meski dihiasi awan kelabu. Suara kendaraan bermotor menelurkan asapnya yang gelap. Mata saya tertuju pada sebuah pemandangan unik dan mengharukan. Buritan trotoar terduduk seorang kakek tua baya. Berpakaian rapi yang tak serapi nasibnya. Tangan kirinya memegang sebungkus nasi warteg. Tangan kanannya yang sudah terlukis pembuluh-pembuluh darah memegang dengan kuat sendok plastik mentransfer energi kepada tubuhnya yang lunglai. Satu, dua, tiga suap nasi tergiling dalam mulut tak bergigi yang tampak kesusahan mengunyah. Di pundaknya terpampang lambang LVRI, sebuah pangkat semu yang berharga dalam sejarah. Sepatu but yang tampak rajin disemir melekat sebagai pelindung kaki-kakinya yang sudah tak sekuat dulu.
 
Dialah satu dari lebih kurang 32.000 prajurit dan PNS veteran yang telah berandil besar dalam memperjuangkan kemerdekaan negara ini. Mereka bertempur dengan bermodalkan keberanian dan resiko kehilangan nyawa. Perjuangan dan kegigihannyalah yang membawa republik ini menjadi negeri berdaulat. Bambu-bambu rucingnya telah membakar sendi-sendi kekejaman penjajah.

Namun, gambaran di alenia pertama tadi cukup mendiskripsikan bahwa mereka sama sekali belum dihargai layaknya pahlawan. Nasib veteran cenderung diabaikan di negeri ini. Kesejahteraan para pejuang Tanah Air ini kerap dikesampingkan. Penghasilan mereka pun bahkan di bawah UMR. Mereka harusnya mendapat perbaikan nasib dan pemakaman yang layak. Kini, mereka hanya mengeluh dan meratapi nasib mereka yang berjuang membebaskan kita dari jajahan bangsa manapun, dengan mempertaruhkan jiwa dan raga mereka. Dahulu mereka yang menumpahkan darah, meninggalan rumah dan anak istri mereka, demi bisa mengibarkan bendera Merah Putih di Tanah Ibu Pertiwi Ini.
 
Sekarang jasa mereka dilupakan oleh kita. Tahun 2006, Para veteran itu mencurahkan isi hati mereka dalam sebuah surat ke Istana Merdeka. Karena, sejak 1994, satu potong tubuh pahlawan yang cacat dalam perang kemerdekaan hanya dihargai Rp 22.000 per bulan. Sekali lagi, mereka memohon perhatian yang lebih layak. Sungguh sangat memilukan. Pertanyaannya, apakah pemerintah tidak mampu memberikan perhatian yang lebih layak. Bukankah usia para veteran itu sekarang sudah 70 hingga 75 tahun, sehingga tidak perlu memakan waktu lama untuk sekadar menyenangkan dan memberikan penghargaan yang pantas.


Mereka adalah orang-orang tua kita yang ikut membantu menegakkan berdirinya sebuah negara bernama Republik Indonesia. Sangat wajar untuk sebuah penghargaan. Tapi inilah raut muka negeri ini di usianya yang ke-65. Raut ironi yang tampak dimana-mana. Lihat saja, gaji dan tunjangan para anggota DPR, menteri atau anggota berbagai Komisi yang kini marak di Indonesia . Lalu, bandingkan dengan para veteran yang hanya dihargai Rp 22.000. Bahkan, anggota DPR diberi hingga 30 jutaan rupiah hanya untuk dana serap aspirasi. Padahal, kita belum merasakan hasil kerja para wakil rakyat itu. Inikah wajah negeri yang sudah merdeka 65 tahun. Beginikah sebuah negeri menghargai para veteran? Lalu dimanakah keadilan itu? Ketika sepucuk surat melayang ke Istana Presiden, kita pun tidak tahu, bagaimana nasib surat itu. Kita hanya bisa berharap, semoga ada titik cerah bagi para veteran ketika sinar kemerdekaan menyentuh usia ke-65. Sekadar harapan untuk sebuah keadilan. Maka, dengarkanlah...

Tidakkah hatimu bersedih karenanya??


6 comments:

  1. kalau kondisi seperti ini, bagaimana bangsa kita mau besar? konon, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannnya.

    ReplyDelete
  2. yup, memang benar. makanya belajar menghargai pahlawan memang patut ditanamkan di hati sanubari generasi bangsa.

    ReplyDelete
  3. Meskipun dulu mereka berjuang, mempertaruhkan jiwa dan raga tanpa pamrih, hak mereka harus tetap diberikan...
    Semoga oknum yang membuat segala sesuatu yang harusnya mudah menjadi rumit mendapat ganjaran yang setimpal.

    ReplyDelete
  4. iya bener. Masa uang buat membiayai 'tikus berdasi' banyak tapi untuk memberikan jatah makan sehari-hari bagi para pahlawan tidak ada... Menyedihkan banget... uang jatah mereka sebenernya sangat sedikit sekali dibanding uang rakyat yang dikorupsi... segitu aja lambat dibayarkan, boro2 mau nambahin jumlah uang pensiunan mereka... duuh,mudah-mudahan generasi ini dan kedepan tidak menjadikan Indonesia sebagai negeri yang dzhalim terhadap pahlawannya...

    ReplyDelete
  5. like :))
    "tidak ada masa depan bagi bangsa yang tidak mengenal sejarah dan para pahlawannya" mustafa assibai

    ReplyDelete