Oleh: Andi Hakim Nasoetion
PERNAH bermukim di Universitas Goettingen? Di Bogor banyak dosen bergelar pascasarjana S-2 bahkan S-3 dari Kampus itu yang sudah sangat tua. Salah seorang tokoh terkenalnya adalah Carl Friedrich Gauss yang gambarnya ditampilkan di lembar uang DM 10. Di sebelahnya ada kurva sebaran normal, di belakangnya ada gambar Departemen Matematikanya. Kampus tua yang ada di dalam kota dan dekat dengan pasar masih tetap terpelihara walaupun di luar kota itu sudah didirikan juga kampus baru untuk berbagai kegiatan akademik.
Perpustakaan tua kampus merangkap perpustakaan kota dan pustakawan terkenalnya di zaman dahulu adalah dua bersaudara Grimm. Rumah kos berbagai tokoh terkenal di dalam kota tua juga masih terpelihara dan diberi plakat: "Di sini pernah tinggal Carl Friedrich Gauss dan di sana Weber".
Di ujung kota terdapat pekuburan dan kalau mau kita dapat meziarahi makam Carl Friedrich Gauss dan tokoh-tokoh ilmuwam Goettingen terkenal lainnya. Di pasar ada patung seorang gadis peternak angsa memegang seekor angsa. Setiap doktor lulusan Goettingen sudah pernah mencium patung Ganzeliesl itu karena menurut tradisi ia harus melakukannya segera setelah ia lulus ujian mempertahankan disertasi. Ia akan diarak kawan-kawannya ke sana dan kemudian dibawa masuk ke Ratskeller untuk minum-minum merayakan kemenangannya. Itulah dia napas akademik suatu universitas. Di satu pihak menerobos ke masa depan untuk menemukan hal-hal yang baru, di pihak lain bertahan pada tradisi akademik universitasnya yang merupakan hukum adat. Hukum adat itu baru terkodifikasi setelah pada tahun 1945 Hitler kalah, semua universitas di Jerman dipaksa untuk menyusun statuta mereka masing-masing oleh tentara pendudukan Sekutu.
SEKARANG kita tinjau distrik 19 Viena, ibu kota Austria yang menjadi tapak Universitas Viena. Tetapi, yang akan kita perhatikan adalah sebuah gimnasium yang terletak pada Gymnasiumstrasse. Gedungnya kuno dan ada di antara berbagai gedung modern.
Di dinding gerbang masuknya terdapat suatu plaket bertuliskan: "Sekolah ini sudah menghasilkan dua pemenang hadiah Nobel." Saya lupa siapa mereka, tetapi itu mudah dilacak karena satu adalah pemenang Nobel untuk Fisika dan yang lain pemenang hadiah Nobel untuk Kimia.
Setelah itu mari kita ke Bogor dan menyimak kampus tua Institut Pertanian Bogor yang mulai dibangun pada tahun 1952. Batu pertamanya diletakkan oleh Presiden pertama Republik kita pada tanggal 27 April 1952. Pidato peletakan batu pertama itu berjudul "Soal Hidup atau Mati".
Penyusun skenario pidato itu adalah Wakil Presiden Universitas Indonesia, Mas Wisaksono Wirjodihardjo, lulusan Sekolah Pertanian Menengah (Cultuur School) yang karena pintarnya boleh meneruskan ke Sekolah Pertanian Menengah Atas (Middelbare Landbouw School) Bogor dan yang karena pintarnya lagi boleh meneruskan ke Sekolah Gula di Yogyakarta.
Lulus dari sekolah ini beliau bekerja di Balai Penelitian Tanah Bogor sebagai analis kimia, tetapi karena pintarnya lagi betapa terkejut orang Belanda yang membolehkannya masuk, menjadi ahli kimia kesuburan tanah yang andal walaupun sesungguhnya mereka tidak ingin ada orang Indonesia bisa menjadi ahli kimia kesuburan tanah.
Pidato soal hidup atau mati Bung Karno itu bercerita tentang masalah besar yang kita hadapi di masa depan (ditinjau dari segi tahun 1952) dan yang ternyata memang sekarang menjadi kenyataan. Pidato itu saya kira diarsipkan dalam Lembaran Negara tahun 1952 dan kalau saja semua mahasiswa pertanian dan teknik diwajibkan membaca tulisan itu, Sarjana-sarjana teknik sipil akan pikir-pikir mengonversi sawah kelas satu menjadi padang golf. Demikian pula sarjana pertanian akan merasa berdosa ketika setiap akhir minggu main golf di padang golf yang tadinya adalah sawah kelas satu.
Ketika Bung Karno angkat pidato meletakkan batu pertama kampus Fakultas Pertanian itu saya sedang sibuk di rumah mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir ilmu bercocok tanam padi SPMA Bogor. Karena itu, tidak saya dengarkan pidato itu. Betapa terkejutnya saya keesokan harinya di ruang ujian ketika saya lihat bahwa semua soal jawabannya ada di dalam pidato Bung Karno itu.
Gedung Fakultas Pertanian itu adalah hasil rancangan konsorsium arsitek Belanda karena mendapat nilai sayembara yang tertinggi. Konsepnya adalah membuat gedung raksasa yang membuat orang terpesona. Sesungguhnya ada rancangan lain yang lebih baik, namun karena ia bukan kelahiran Zaandam, melainkan Porsea di tepi danau Toba, ia terpaksa dikalahkan.
Bagaimana mungkin seorang aristek berkulit coklat lulusan STM (MTS) ditambah satu tahun kuliah di Akademie der Beeldende Kunsten Amsterdam dapat mengalahkan pemikiran konsorsium aristek bule yang berasal dari Zaandam, Volendam, dan mungkin lagi Schiedam.
Namun, kenyataannya kalau Silaban-lah yang rancangannya dimenangkan, di Baranangsiang telah berdiri gedung-gedung fakultas itu bukan dalam bentuk masif, melainkan dalam bentuk permainan lego sehingga pembangunannya dapat dilakukan bertahap. Inilah juga sebabnya mengapa kampus Darmaga dibangun dengan prinsip permainan lego.
Jadi di Baranangsiang akhirnya didirikan Gedung Fakultas Pertanian yang hanya selesai dua per lima dari rancangan lengkapnya. Yang tidak terlaksana di antaranya ialah Aula dan Kolam Renang ukuran internasional.
Bahwa batu pertama diletakkan Bung Karno, itu dapat dibaca pada prasasti di bawah tangga masuk ke ruang pimpinan. Di bawah prasasti itu ada celah aerasi agar udara dapat bersirkulasi ke dalam ruang di balik prasasti marmer itu, karena di dalamnya disimpan suatu naskah yang ditulis di atas perkamen dan ditandatangani oleh Dr Ir Soekarno!
Kalau begitu caranya, gedung Baranangsiang itu sudah pantas diperlakukan sebagai situs sejarah, seperti juga yang bertetangga dengannya seharusnya dikonservasi karena arsitekturnya yang khas.
Sekarang gedung-gedung itu sudah menjadi outlet. Seperti juga Bandung yang tadinya dijuluki "Parijs van Java" telah berubah menjadi Kampung Outlet, Bogor, juga sedang menuju kehancuran sebagai kota pelajar. Yang penting adalah menanjakkan pendapatan asli daerah.
Celakanya Institut Pertanian Bogor sebagai Badan Hukum Milik Negara harus berpikir bisnis. Semua aset harus dimanfaatkan dari segi pengadaan dana. Setelah asrama Ekalokasari diubah menjadi pertokoan, apakah akan terjadi malapetaka kedua dengan berubahnya situs bersejarah Baranangsiang menjadi Pusat Perdagangan Internasional?
Kalau hal ini terjadi selain kita menghilangkan jejak sejarah, kita juga menghilangkan kesempatan bagi beribu-ribu pemuda Indonesia untuk mendapatkan pendidikan sains dan matematika yang baik. Tidak perlu di Darmaga. Cukup di situs bersejarah Baranangsiang, Gunung Gede, dan Taman Kencana kita dirikan USTB (Universitas Sains dan Teknologi Bogor) kalau IPB tidak mampu memelihara situs bersejarah itu untuk tetap menjadi pusat pendidikan yang erat hubungannya dengan alam sehingga didirikan berseberangan dengan Kebun Raya Indonesia.
Sumber: Harian Kompas, Sabtu, 2 Februari 2002
lihat kampus Baranang Siang saat ini, klik disini ^_^
kampus tercintah
ReplyDeleteaaah....senang masih sempet ngelab di gedung hitam ituh
huheuheuheuhe
yup, sama ^_^
ReplyDeletemasih sempet ngerasain kuliah, nge-Lab, and aktivitas yang berharga disana...
kerjain dulu tuh proposal researchnya...jgn nge-blog mulu...kapan kelarnya???
ReplyDeletehehehehe
gedung-gedung itu... banyak kenangan euy..
ReplyDeletesetuju... meski sekarang dah banyak berubah, tapi kalo melihat gedung2 itu masih mengingatkan pagi hari di takol yang dingin banget...
ReplyDeletenge-blog itu sama dengan belajar menulis.. biar ntar nulis karya ilmiahnya lancar :-D
ReplyDelete