Rating: | ★★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Health, Mind & Body |
Author: | Dr. Hiromi Shinya |
Bukunya Keren Abis....
Rilis : 2008
Halaman : 304p
Penerbit : Mizan
Bahasa : Indonesia
Harga : Rp.84.000
Ini sedikit resensinya. Dijamin akan tertarik deh..
Catatan Dahlan Iskan tentang Buku Miracle of Enzyme
Wed Jun 10, 2009 1:51 am (PDT)
Dahlan Iskan: Susu Sapi Bukan untuk Manusia
Tidak ada makhluk di dunia ini yang ketika sudah dewasa masih minum susu
-kecuali manusia. Lihatlah sapi, kambing, kerbau, atau apa pun: begitu sudah
tidak anak-anak lagi tidak akan minum susu. Mengapa manusia seperti
menyalahi perilaku yang alami seperti itu?
“Itu gara-gara pabrik susu yang terus mengiklankan produknya,” ujar Prof Dr
Hiromi Shinya, penulis buku yang sangat laris: The Miracle of Enzyme
(Keajaiban Enzim) yang sudah terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul yang
sama. Padahal, katanya, susu sapi adalah makanan/minuman paling buruk untuk
manusia. Manusia seharusnya hanya minum susu manusia. Sebagaimana anak sapi
yang juga hanya minum susu sapi. Mana ada anak sapi minum susu manusia,
katanya.
Mengapa susu paling jelek untuk manusia? Bahkan, katanya, bisa menjadi
penyebab osteoporosis? Jawabnya: karena susu itu benda cair sehingga ketika
masuk mulut langsung mengalir ke kerongkongan. Tidak sempat berinteraksi
dengan enzim yang diproduksi mulut kita. Akibat tidak bercampur enzim, tugas
usus semakin berat. Begitu sampai di usus, susu tersebut langsung menggumpal
dan sulit sekali dicerna. Untuk bisa mencernanya, tubuh terpaksa
mengeluarkan cadangan “enzim induk” yang seharusnya lebih baik dihemat.
Enzim induk itu mestinya untuk pertumbuhan tubuh, termasuk pertumbuhan
tulang. Namun, karena enzim induk terlalu banyak dipakai untuk membantu
mencerna susu, peminum susu akan lebih mudah terkena osteoporosis.
Profesor Hiromi tentu tidak hanya mencari sensasi. Dia ahli usus terkemuka
di dunia. Dialah dokter pertama di dunia yang melakukan operasi polip dan
tumor di usus tanpa harus membedah perut. Dia kini sudah berumur 70 tahun.
Berarti dia sudah sangat berpengalaman menjalani praktik kedokteran. Dia
sudah memeriksa keadaan usus bagian dalam lebih dari 300.000 manusia Amerika
dan Jepang. Dia memang orang Amerika kelahiran Jepang yang selama karirnya
sebagai dokter terus mondar-mandir di antara dua negara itu.
Setiap memeriksa usus pasiennya, Prof Hiromi sekalian melakukan penelitian.
Yakni, untuk mengetahui kaitan wujud dalamnya usus dengan kebiasaan makan
dan minum pasiennya. Dia menjadi hafal pasien yang ususnya berantakan pasti
yang makan atau minumnya tidak bermutu. Dan, yang dia sebut tidak bermutu
itu antara lain susu dan daging.
Dia melihat alangkah mengerikannya bentuk usus orang yang biasa makan
makanan/minuman yang “jelek”: benjol-benjol, luka-luka, bisul-bisul,
bercak-bercak hitam, dan menyempit di sana-sini seperti diikat dengan karet
gelang. Jelek di situ berarti tidak memenuhi syarat yang diinginkan usus.
Sedangkan usus orang yang makanannya sehat/baik, digambarkannya sangat
bagus, bintik-bintik rata, kemerahan, dan segar.
Karena tugas usus adalah menyerap makanan, tugas itu tidak bisa dia lakukan
kalau makanan yang masuk tidak memenuhi syarat si usus. Bukan saja ususnya
kecapean, juga sari makanan yang diserap pun tidak banyak. Akibatnya,
pertumbuhan sel-sel tubuh kurang baik, daya tahan tubuh sangat jelek, sel
radikal bebas bermunculan, penyakit timbul, dan kulit cepat menua. Bahkan,
makanan yang tidak berserat seperti daging, bisa menyisakan kotoran yang
menempel di dinding usus: menjadi tinja stagnan yang kemudian membusuk dan
menimbulkan penyakit lagi.
Karena itu, Prof Hiromi tidak merekomendasikan daging sebagai makanan. Dia
hanya menganjurkan makan daging itu cukup 15 persen dari seluruh makanan
yang masuk ke perut.
Dia mengambil contoh yang sangat menarik, meski di bagian ini saya rasa,
keilmiahannya kurang bisa dipertanggungjawabk an. Misalnya, dia minta kita
menyadari berapakah jumlah gigi taring kita, yang tugasnya mengoyak-ngoyak
makanan seperti daging: hanya 15 persen dari seluruh gigi kita. Itu berarti
bahwa alam hanya menyediakan infrastruktur untuk makan daging 15 persen dari
seluruh makanan yang kita perlukan.
Dia juga menyebut contoh harimau yang hanya makan daging. Larinya memang
kencang, tapi hanya untuk menit-menit awal. Ketika diajak “lomba lari” oleh
mangsanya, harimau akan cepat kehabisan tenaga. Berbeda dengan kuda yang
tidak makan daging. Ketahanan larinya lebih hebat.
Di samping pemilihan makanan, Prof Hiromi mempersoalkan cara makan. Makanan
itu, katanya, harus dikunyah minimal 30 kali. Bahkan, untuk makanan yang
agak keras harus sampai 70 kali. Bukan saja bisa lebih lembut, yang lebih
penting agar di mulut makanan bisa bercampur dengan enzim secara sempurna.
Demikian juga kebiasaan minum setelah makan bukanlah kebiasaan yang baik.
Minum itu, tulisnya, sebaiknya setengah jam sebelum makan. Agar air sudah
sempat diserap usus lebih dulu.
Bagaimana kalau makanannya seret masuk tenggorokan? Nah, ini dia, ketahuan.
Berarti mengunyahnya kurang dari 30 kali! Dia juga menganjurkan agar setelah
makan sebaiknya jangan tidur sebelum empat atau lima jam kemudian. Tidur
itu, tulisnya, harus dalam keadaan perut kosong. Kalau semua teorinya
diterapkan, orang bukan saja lebih sehat, tapi juga panjang umur, awet muda,
dan tidak akan gembrot.
Yang paling mendasar dari teorinya adalah: setiap tubuh manusia sudah diberi
“modal” oleh alam bernama enzim-induk dalam jumlah tertentu yang tersimpan
di dalam “lumbung enzim-induk” . Enzim-induk ini setiap hari dikeluarkan
dari “lumbung”-nya untuk diubah menjadi berbagai macam enzim sesuai
keperluan hari itu. Semakin jelek kualitas makanan yang masuk ke perut,
semakin boros menguras lumbung enzim-induk. Mati, menurut dia, adalah
habisnya enzim di lumbung masing-masing.
Maka untuk bisa berumur panjang, awet muda, tidak pernah sakit, dan langsing
haruslah menghemat enzim-induk itu. Bahkan, kalau bisa ditambah dengan cara
selalu makan makanan segar. Ada yang menarik dalam hal makanan segar ini.
Semua makanan (mentah maupun yang sudah dimasak) yang sudah lama terkena
udara akan mengalami oksidasi. Dia memberi contoh besi yang kalau lama
dibiarkan di udara terbuka mengalami karatan. Bahan makanan pun demikian.
Apalagi kalau makanan itu digoreng dengan minyak. Minyaknya sendiri sudah
persoalan, apalagi kalau minyak itu sudah teroksidasi. Karena itu, kalau
makan makanan yang digoreng saja sudah kurang baik, akan lebih parah kalau
makanan itu sudah lama dibiarkan di udara terbuka. Minyak yang oksidasi,
katanya, sangat bahaya bagi usus. Maksudnya, mengolah makanan seperti itu
memerlukan enzim yang banyak.
Apa saja makanan yang direkomendasikan? Sayur, biji-bijian, dan buah. Jangan
terlalu banyak makan makanan yang berprotein. Protein yang melebihi
keperluan tubuh ternyata tidak bisa disimpan. Protein itu harus dibuang.
Membuangnya pun memerlukan kekuatan yang ujung-ujungnya juga berasal dari
lumbung enzim. Untuk apa makan berlebih kalau untuk mengolah makanan itu
harus menguras enzim dan untuk membuang kelebihannya juga harus menguras
lumbung enzim.
Prof Hiromi sendiri secara konsekuen menjalani prinsip hidup seperti itu
dengan sungguh-sungguh. Hasilnya, umurnya sudah 70 tahun, tapi belum pernah
sakit. Penampilannya seperti 15 tahun lebih muda. Tentu sesekali dia juga
makan makanan yang di luar itu. Sebab, sesekali saja tidak apa-apa.
Menurunnya kualitas usus terjadi karena makanan “jelek” itu masuk ke
dalamnya secara terus-menerus atau terlalu sering.
Terhadap pasiennya, Prof Hiromi juga menerapkan “pengobatan” seperti itu.
Pasien-pasien penyakit usus, termasuk kanker usus, banyak dia selesaikan
dengan “pengobatan” alamiah tersebut. Pasiennya yang sudah gawat dia minta
mengikuti cara hidup sehat seperti itu dan hasilnya sangat memuaskan.
Dokter, katanya, banyak melihat pasien hanya dari satu sisi di bidang
sakitnya itu. Jarang dokter yang mau melihatnya melalui sistem tubuh secara
keseluruhan. Dokter jantung hanya fokus ke jantung. Padahal, penyebab
pokoknya bisa jadi justru di usus. Demikian juga dokter-dokter spesialis
lain. Pendidikan dokter spesialislah yang menghancurkan ilmu kedokteran yang
sesungguhnya.
Saya mencoba mengikuti saran buku ini sebulan terakhir ini. Tapi, baru bisa
50 persennya. Entah, persentase itu akan bisa naik atau justru turun lagi
sebulan ke depan.
Yang menggembirakan dari buku Prof Hiromi ini adalah: orang itu harus makan
makanan yang enak. Dengan makan enak, hatinya senang. Kalau hatinya sudah
senang dan pikirannya gembira, terjadilah mekanisme dalam tubuh yang bisa
membuat enzim-induk bertambah. Nah….. gan pei!
Sumber: Jawa Pos, 15 Mei 2009