Thursday 10 November 2011

Pahlawan Tanpa Harta

Kelangkaan Pahlawan merupakan isyarat kematian sebuah bangsa...

Selamat Hari Pahlawan!
Di Hari Pahlawan ini, ada baiknya untuk menelusuri lebih dalam tentang Para Pejuang Kebenaran, sehingga kita bisa termotivasi dan terinspirasi dari kisah-kisah mereka. Buku (lama) tentang kepahlawanan yang masih sangat berkesan bagi saya salah satunya adalah buku yang ditulis oleh Anis Matta: Mencari Pahlawan Indonesia.

Pahlawan yang digambarkan disini bukan saja pahlawan yang membebaskan bangsa dari krisis besar atau pahlawan di medan peperangan gawat, tapi jauh lebih luas lagi bentangannya—pahlawan dunia pemikiran, pendidikan, keilmuan, pebisnis, kesenian dan kebudayaan. Dan tentu saja mereka pernah bergelut dengan yang namanya kegagalan, kesulitan, bahkan musibah. Namun semua itu tidak menyurutkan langkah Para Pahlawan untuk terus berjuang.

Salah satu yang sering terlupakan adalah Pahlawan mukmin sejati, yang selalu mengajarkan dan mengingatkan kita tentang cahaya iman yang dibawa Rasulullah SAW. Ulama, guru, ustadz, apapun namanya.... sungguh agung perjuanganmu...

Jangan pernah menyangka bahwa seorang pahlawan selalu meraih prestasi-prestasinya dengan mulus, atau bahkan tidak pernah mengenal kegagalan. Kesulitan-kesulitan adalah rintangan yang diciptakan oleh sejarah dalam perjalanan ini menuju kepahlawanan. Karena itu, peluang kegagalan sama besarnya dengan peluang keberhasilan. "Kalau hukan karena kesulitan, maka semua orang akan jadi pahlawan [Al-Mutanahhi - penyair Arab].

Pahlawan Tanpa Harta

Tidak semua medan kepahlawanan membutuhkan sarana dan harta yang melimpah. Perang, politik, dan ekonomi adalah 'industri duaniawi' yang membutuhkan daya cipta material yang hebat. Tapi ada industri yang sebagian besar proses penciptaannya justru lebih bersifat 'ukhrawi; profesi nabi-nabi yang diwariskan kepada para ulama. Kedua 'industri' itu tidaklah terpisah pada tujuannya, tapi pada tabiat pekerjaannya. Proses penciptaan dalam dunia ilmu pengetahuan, spiritual dan pendidikan, lebih banyak bertumpu pada paduan antara kekuatan spiritual dan intelektual. Harta dan sarana hanya mempunyai peranan yang sederhana dalam proses. Sebaliknya, produk kepahlwanan dalam dunia ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan keagamaan, juga tidak dapat mengantar seorang ulama menuju kekayaan.

Para ulama, kata Ibnu Khaldun, sulit menjadi kaya dengan ilmu agamanya. Sebab, harta hanya berputar dalam titik-titik tertentu dimana kebutuhan sebagian besar manusia ada disitu. Sementara, manusia pada umumnya tidak setiap saat membutuhkan nasihat keagamaan. Ada lagi faktor yang disebut Ibnu Khaldun. Para ulama berada pada posisi moral yang tinggi dan terhormat, yang biasanya tidak akan mereka rusak dengan berbagai macam praktik tidak terhormat, yang 'biasanya' memenuhi dunia bisnis. Maka, kata Ibnu Khaldun, pemerintahlah yang bertugas menjaga kehormatan para ulama, dengan memberi mereka fasilitas duniawi yang cukup untuk menjalankan fungsi sosial mereka.

Tapi ini mengandung bahaya. Sebab ulama yang 'dihidupi' pemerintah biasanya kehilangan harga diri dan wibawa di depan penguasa. Itu menyulitkan mereka melakukan fungsi kontrol terhadap penguasa. Tapi disinilah letak kepahlawanan mereka; kemampuan untuk melahirkan karya ilmiah yang hebat di tengah kemiskinan, dan kemampuan untuk mempertahankan harga diri dan wibawa di depan penguasa di tengah kemiskinannya. Mereka mendirikan kerajaan spiritual dalam dunia material kita; maka mereka menjadi raja dalam hati masyarakat, bukan penguasa di atas kepala rakyat. Mereka adalah orang-orang miskin yang terhormat. Sebab kemiskinan bagi mereka adalah pilihan hidup, bukan akibat ketidakberdayaan. Kemiskinan adalah resiko profesi yang mereka sadari sejak awal. Dan ketika mereka memilih profesi itu, mereka menanggung semua akibatnya.

Lahir sebagai anak yatim di tengah keluarga miskin, Imam Syafi'i, pada mulanya menuntut ilmu (agama) untuk menjadi kaya. "Aku rasa kecerdasanku akan memberikanku kekayaan yang melimpah," kata beliau. "Tapi," katanya lagi, "Setelah aku mendapatkan ilmu ini, sadarlah aku bahwa ilmu ini tidak boleh dituntut untuk mendapatkan dunia. Ilmu ini hanya akan kita peroleh, jika dituntut ia untuk kejayaan akhirat."

Bisnis Kehormatan

Bisnis adalah jalannya. Itu sebabnya kita menemukan para ulama besar yang juga pebisnis. Abu Hanifah, misalnya, adalah pengusaha garmen. Beliau bahkan membiayai hidup sebagian besar murid-muridnya. Itu membuat beliau terhormat di mata para penguasa, relatif untoucheble. Tapi itu juga memberikan beliau kedalaman dalam fiqih, khususnya dalam bidang muamalat. Beberapa literatur awal dalam masalah keuangan negara kemudian lahir dari tangan murid beliau. Misalnya, Kitab Al-Kharaj yang ditulis Abu Yusuf. Untuk sebagiannya, pemikiran ekonomi Islam pada mulanya diwarisi dari fiqih Abu Hanifah.

Walaupun begitu, popularitas mereka tidak datang dari kekayaan mereka yang melimpah ruah. Sebab, bisnis tidak boleh mengganggu 'bisnis' mereka yang lain. Sebab, mereka hanya ingin menjadi orang bebas dengan bisnis itu. Sebab, mereka hanya ingin mempertahankan kehormatan mereka dengan bisnis itu. Itu berarti bahwa mereka harus mampu mengelola bisnis paruh waktu dengan sukses. Demikianlah kejadiannya. Suatu saat Abdullah Ibnul Mubarak, maha guru para ahli zuhud, ulama dan perawi hadits yang tsiqah, jago panah dan petarung sejati, ditanya tentang mengapa beliau masih berbisnis. Beliau yang terlibat dalam sebagian besar pertempuran di masa hidupnya, menulis beberapa buku monumental seperti Kitab AlZuhd, memang dikenal sebagai seorang pebisnis yang sukses. Namun, beliau hanya menjawab dengan enteng, "Aku berbisnis untuk menjaga kehormatan para ulama agar mereka tidak terbeli oleh para penguasa."

Pahlawan mukmin sejati tidak membuang energi mereka untuk memikirkan apakah ia akan ditempatkan dalam sejarah manusia. Yang mereka pikirkan ialah bagaimana meraih posisi paling terhormat di sisi Allah SWT.

Membuka kaca jendela, menatap realita:
Dengan berbagai gejolak yang ada di negeri ini, meski mungkin peneliti masih belum layak disebut sebagai pahlawan, dengan segala keterbatasan fasilitas dan materil yang mereka dapat, bisnis bisa menjadikan mereka sebagai orang bebas. Sebab, mereka bisa mempertahankan kehormatan mereka dengan bisnis itu dengan tanpa menghianati sang pemberi kepercayaan.


Referensi: Mencari Pahlawan Indonesia (Anis Matta)

No comments:

Post a Comment