Wednesday, 30 October 2013

Percayailah yang terbaik

mempercayai yang terbaik dalam diri seseorang
akan menarik keluar yang terbaik dari mereka
berbagi senyum kecil dan pujian sederhana
mungkin saja mengalirkan ruh baru pada jiwa yang nyaris putus asa
atau membuat sekeping hati kembali percaya
bahwa dia berhak dan layak untuk berbuat baik



Lelaki itu menyipitkan mata di terjang terik. Kakinya tersaruk seok dalam sengatan pasir. Dia datang dari jauh memikul beban hati yang memayahkan. Perjalanannya melelahkan. Tapi biara yang ditujunya tak jauh lagi. Jalan agak mendaki kini, tapi sekuncup harap telah bersemi di hati.
Di pintu biara, Rahib ahli badah itu menyambutnya dengan wajah datar. Lisannya terus berkomat-kamit. Rahib itu masuk sebentar dan keluar dengan dua gelas logam di tangannya. Dia letakkan salah satu di hadapan si lelaki, dan gelas lain dia genggam dengan dua tangan. Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguar bersama asap.
“Rahib yang suci,” kata si lelaki. Dia diam sejenak lalu mengunjal nafasnya panjang-panjang. “Mungkinkah dosaku diampuni?”
Rahib itu tersenyum setengah menyeringai. “Memangnya apa khilafmu?”
Agak tercekat dia menjawab. “Aku telah membunuh,” katanya, “Sebanyak sembilanpuluh sembilan jiwa.”
Hampir saja gelas di tangan sang rahib jatuh. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga.
“Mungkinkah dosaku diampuni?” lanjut si lelaki sambil menatap harap-harap. Tangannya cemas menggaruki permukaan gelas logam. Dia lalu menunduk menanti sabda. Tetapi Rahib itu memalingkan muka. Rautnya tampak tak suka. Lelaki itu menangkap mimik jijik di garis-garis wajah sang Rahib. Sayup dia menggumamkan sebuah ayat dalam Taurot, “Membunuh satu jiwa sama artinya membinasakan seluruh jiwa, memusnahkan segala kehidupan. Sembilanpuluh sembilan… Sungguh dosa yang tak terperikan. Tak terampunkan.”

Entah mengapa si lelaki pembunuh tiba-tiba disergap benci yang bergulung-gulung pada si Rahib. Batinnya yang luka dan tersiksa oleh dosa serasa disiram cuka yang memedihkan mendengar gumam itu. Cara Rahib itu memperlakukannya, bersikap, berkatakata, dan menjawab tanya seolah mereka dibatasi dinding tak tertembus. Si Rahib suci. Tanpa dosa. Dan dia adalah lelaki hina, najis, tak terampuni.
Sekuncup harap yang tadi bersemi, kini gugur disengat api. Maka sekali lagi syaithon mengalahkannya. Dalam detikan saja, pedangnya telah memenggal si Rahib, membelahnya menjadi dua. Dan dia disergap sesal yang jauh lebih menyakitkan. Genap sudah seratus nyawa. Darah sang Rahib yang mengalir merah terlihat bagai neraka menyala, siap membakarnya. Dia tergidik. Dia beringsut mundur. Nafasnya tersengal, jangganya terasa tercekik hebat, keringat dinginnya merembesi baju. Dengan tenaga yang dihimpun sepicak-sepicak, dia berlari. Terus berlari. Untuk beberapa waktu, dia bersembunyi. Tapi dia tahu, yang dia takuti bukan apa yang ada di luar sana. Yang paling menakutkannya ada di dalam dada. Tak tampak. Tak pernah membiarkannya nyenyak. Tak pernah mengizinkannya hening. Satu hari dia tak tahan lagi. Diberanikannya menemui orang yang dianggapnya mampu memberi jawab gelisah hatinya. Kali ini bukan Rahib yang dipilihnya. 

Kali ini seorang ‘alim yang didatanginya. Dan lelaki berilmu itu menerimanya dengan senyum tulus.
“Alloh itu Maha Pengampun, Saudaraku,” ujar sang ‘alim ramah. “Taubatmu pasti diterima. Hanya saja, selain menyesali segala yang telah berlalu dan menebusnya dengan kebaikankebaikan, engkau juga harus meninggalkan negeri yang selama ini kau tinggali. Pergilah ke negeri lain untuk memulai hidupmu yang baru. Engkau harus berhijrah.”
Lelaki pembunuh itu, kita tahu, benar-benar berhijrah. Tapi dia mati di perjalanan. Dan malaikat rohmat pun memenangi perdebatannya dengan malaikat adzab. Sebab ketika diukur jaraknya, lelaki itu sejengkal lebih dekat ke arah negeri pertaubatannya. Dia benar-benar telah meninggalkan kejahatan, meski baru sejengkal. Maka Alloh memerintahkan agar dia dibawa ke surga.

Kebaikan itu hanya menyembul sedikit, mengintip di balik terbunuhnya seratus nyawa. Seorang Rahib memang ahli ibadah. Tetapi dia bukan ahli ilmu. Dia tak kuasa mengenali kebaikan yang tersembunyi. Begitulah kita hari-hari ini, banyak terpesona dan dengan mudah menyebut seseorang sebagai “Ustadz!” Padahal boleh jadi dia bukan ahli ilmu. Dia bisa saja ‘Abid, ahli ibadah. Atau juga Khothib, seorang yang fasih bicara. Atau bisa juga Katib, seorang yang pandai menulis. Adapun ulama, adalah mereka yang benar-benar mengenal Alloh dan takut pada-Nya. Seperti ‘alim yang menuntun sang pembunuh untuk bertaubat. Dia lelaki jernih yang penuh prasangka baik. Jika si Rahib lebih tertekan oleh kata “membunuh”, sang ahli ilmu lebih terkesan oleh kata “taubat”. Kebaikan itu memang belum wujud, tapi dia memperlakukan sang pembunuh dengan penuh cinta, mempercayai yang terbaik dalam dirinya, dan menjadikan lelaki itu mampu menyongsong jalan surga. Itulah ulama. 

Dalam dekapan ukhuwah kita belajar dari mereka untuk takut kepada Allah dan tak mudah memvonis pada sesama hamba. 
Dalam dekapan ukhuwah kita belajar untuk mengenali kebaikan yang mengintip, mempercayainya, dan memberinya kesempatan untuk tampil mengemuka.


rewrite from "Dalam dekapan ukhuwah" by Salim A Fillah.

Sunday, 13 October 2013

Belajar bikin komik

Sabtu ini saya dan asti ikutan workshop komik. Kerjasama antara WALHI dengan Masyarakat Komik Indonesia (MKI), diadakan pada tanggal 12 Oktober 2013 di Galeri WALHI Jakarta.

Menarik. Karena saya jadi tahu bahwa komik itu bukan hanya sekedar hiburan, tapi juga jadi sarana penyampa pesan yang bisa sampai pada banyak kalangan. Selain itu, komik bisa jadi alat penyebaran budaya negara tertentu, sebut saja Jepang. Dalam semua komik buatan Jepang pasti terkandung budaya atau kebiasaan yang memang harus dilakukan. Misalnya, dalam cerita samurai, sekejam dan sebengis apapun seorang samurai pasti kalau masuk rumah akan melepas sendalnya.

Selain itu, karakter dalam komik juga bisa menjadi duta dari negaranya. Pemerintah Jepang menetapkan tokoh komik dan kartun Doraemon sebagai Duta Besar Budaya Animasi. Kucing berkepala bulat dengan kantong ajaib itu dianggap melambangkan persahabatan dan budaya Jepang. Doraemon juga banyak memperlihatkan kehidupan sehari-hari orang Jepang lewat tokoh-tokoh seperti Nobita, Giant, dan Suneo. Dan tahukah kamu bahwa Doraemon ini berada di bawah kementerian luar negeri Jepang! bukan kementerian yang berhubungan dengan kesenian. Kementerian berharap Doraemon bisa memperkenalkan Jepang keliling dunia. Selain diperkenalkan sebagai Duta Besar Budaya Animasi, tokoh kartun ciptaan Fujiko Fujio ini hadir di Indonesia sekaligus sebagai peringatan 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Jepang. Waaa.... 
Ayo semangat belajar buat komik ^^
Doraemon as duta budaya Jepang
Tentang ide, menurut mas Wahyu (Trainer komikus), tidak akan ada habisnya. Karena ide itu bersumber dari Tuhan, jadi ide itu tidak terbatas. Yang kita perlukan hanyalah mencatatnya ketika ide itu terlintas di kepala kita (agar tidak lupa). Dan memang bener sih, waktu dateng kesini, saya dan Asti tidak terpikir mau buat komik apa. Tetapi setelah dibimbing mas Wahyu, kita semua jadi punya gambaran komik bertema lingkungan apa yang akan kita buat...
Saya memilih untuk membuat komik berjudul: Mandi limbah toilet, sedangkan Asti: Akibat mandi air kotor :D

Ini... komik pertama kami (lia dan asti). Silakan di-klik untuk membacanya.
Mandi limbah toilet by Lia

Akibat mandi air kotor by Asti
Meski kami tidak pinter gambar, tapi dapet komentar Keren dari mas wahyu :)

Thursday, 3 October 2013

Ya Sudahlah...

Bulan-bulan ini memang penuh dengan lowongan CPNS. Semarak! Bahkan di kampus-kampus tersebar brosur-brosur dari Menpan yang berisi ajakan tuk masuk dalam kompetisi ajang ini.
Saya yang masih menjabat sebagai staf honorer di unit kerja inipun selalu dapat pertanyaan dari orang-orang terdekat, maupun orang-orang terjauh, "Li, udah daftar CPNS belum?" atau "Li, instansi ini udah buka lowongan CPNS tuh... daftar gih sana!" atau "Li, daftar CPNS di mana aja?" atau bahkan ada yang bilang begini, "Lo masih mau daftar CPNS?" Ffuuuhhhh..... ternyata banyak banget orang yang peduli sama saya ya, alhamdulillah...

Menanggapi info ini, saya sebenarnya biasa aja. Toh, setiap tahun saya melamar tuk jadi CPNS di lembaga tempat saya kerja ini, meski belum pernah sekalipun dipanggil ujian hehe... ya, belum rejeki kali, pikir saya. Dan saya menanggapinya juga dengan biasa, meski sebenernya selalu tidak tega tuk menyampaikan kabar ini kepada ortu. Melihat paras muka mereka yang "sedikit" kecewa, rasanya sediiih banget... Mungkin rasa sedih ini yang membuat saya tidak terlalu suka dengan lowongan CPNS ini, engapa momen ini selalu berulang tiap tahun...

Tahun ini saya putuskan untuk melamar di instansi tempat saya bekerja. Melihat teman-teman honorer lainnya tidak mau medaftar lowongan tahun ini, rasanya tidak semangat. Ditambah, saya memang belum punya alasan yang kuat untuk menjadi PNS disini, atau dimanapun... mungkin alasannya cuma karena orang tua. Selain melamar di instansi ini, saya juga melamar di LIPI. Saya pikir tupoksinya lumayan cocok dengan saya.

Beberapa hari berlalu *karena saya masukin lamaran deket deadline time*

Akhirnya hari yang dinanti tiba juga... Seorang teman (D-k) mengingatkan saya akan pengumuman ini.
D: Mba li, pengumuman LIPI udah ada tuh. Udah lihat belum?
L: Heh? emang sekarang ya? bukannya BP*T dulu?
D: Iya sekarang... emang BP*T kapan?
L: Harusnya hari ini... tapi belum ada nih sampe malem gini... yo wiss ak cek lah.
*browsing ke situsnya LIPI*

D: Gimana mba? udah lihat?
L: *Saya kirim foto hasil pengumuman peserta yang dipanggil ujian tulis*  
D: Belum rejeki ya.. mungkin rejekinya di BP*T..
L: Hehe.. Doakan yang terbaik yaa..

Paginya... --> Cek situs BP*T ...and sms sent to Japan
L: Ohayou mba anaa... Hari ini ak resmi 5 tahun berturut-turut ditolak jadi CPNS LIPI dan BP*T. Doakan yang terbaik yaa :D
A: Lia.. kamu gak capek coba cpns selama 5 tahun?
L: Haha.. gak lah. Maunya ortu kan gitu :D
A: Kamu sendiri maunya apa?
L: Maunya bisa belajar dengan tenang dan riset dengan baik.
A: Alhamdulillah... berarti yang di-mau-in udah didapetin. Nanti pasti kejawab kok Allah ngerencanain apa buat kamu. Tinggal sabar apa gak ngejalaninnya (nasehat buat diri sendiri). Karna sekarang aq juga lagi bertanya-tanya apa rencana Allah buatku... Saling mendokan ya..
L: Iya, Insya Allah selalu aku doakan...

Lima tahun selalu ditolak itu sesuatu banget... *Syahrini mode on*
Anyway, ya sudahlah... jalani aja. Semua ketentuan Allah tuk kita kan sudah tertulis dalam lauhul mahfuz..
Sebaik-baik rencana kita, jauh lebih indah rencana Allah untuk kita.
Dan yang pasti Allah maha tau yang terbaik untuk saya.

Allah pasti sedang mengabulkan doa-doa saya selama ini :)