Seperti dua malam sebelumnya, kali ini beliau juga tidak muncul untuk mengisi QL dan muhasabah pada itikaf kali ini. Penasaran, itu yang saya rasakan. Meski ustadz penggantinya (Ust. Budi Hasibuan, Lc.) tidak kalah bagus dengannya, tapi tetap saja penasaran, terlebih lagi ada pengumuman dari panitia bahwa salah satu ustadz yang mengisi acara pada malam itu baru saja meninggal dunia sehari sebelumnya... innalillahi wa inna ilahi raajiuun...
Ketika bincang-bincang dengan Bu Husni, "Ustadz ibnu jarir kemana ya bu?" tanyaku padanya yang beritikaf dari malam ke-21.
"nggak tau... saya juga nunnggu-nunggu, tapi gak ada ya tahun ini. apa meninggal ya..." katanya resah.
"masa sih bu?" tanyaku tidak percaya
"itu semalam ada pengumuman ustadz yang meninggal..." katanya (unsure).
"heh? itu bukannya ustadz pengisi kajian bada tarawih ya..." saya masih gak percaya....
tapi katanya kemudian, "nanti saya tanya temen yang rumahnya sedaerah dengan beliau deh..."
Bagi saya, sungguh menyedihkan jika prasangka tersebut benar. Kehilangan ustadz, ulama sungguh sebuah hal yang lebih dari kata menyedihkan. Bukan hanya tak akan berjumpa dengannya lagi, bukan hanya tak dapat mendengarkan nasihatnya lagi, bukan hanya tak dapat transfer semangat darinya lagi, tapi karena jika ulama telah wafat maka musibah akan muncul. Seperti yang telah dikatakan Rasulullah SAW,
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia (Allah) mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang ulama pun (diwilayah itu), maka orang-orang mengangkat ulama dan sesepuh dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” (Shahih Bukhari)
Rasanya tidak berlebihan jika saya mengatakan, semakin Allah panjangkan usia para ulama’ kita, musibah akan semakin menjauh.
Beberapa saat kemudian, Bu Husni mendekatiku sambil menunjukkan sebuah sms yang menyatakan bahwa Ust. Ibnu Jarir sedang ada tugas dakwah di Australia (dari sumber yang dapat di percaya). Kamipun tersenyum bahagia, Alhamdulillah...
Mengenai itikaf tahun ini, masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, saya hanya bisa datang ke Masjid At-Tin ini hanya pada malam-malam ganjil (23, 25, 27, dan 29 Ramadhan). Iri juga sebenarnya dengan teman-teman yang beritikaf full sepuluh hari terakhir Ramadhan ini. Saya merasa rugi karena belum bisa memanajemen diri dari kesibukan duniawi hingga itikaf 10 hari terakhir saja belum bisa saya laksanakan seumur hidup saya.
Padahal saya sudah punya komunitas itikaf At-Tin yang selalu siap berbagi selama menjalankan itikaf ini, ukhuwah yang terjalin lima tahun ini sangatlah indah. Seharusnya ini menjadi sebuah penyemangat jiwa bagi saya untuk fokus beritikaf 10 hari terakhir ini, padahal tidak ada yang menjamin bahwa saya akan bisa bertemu dengan Ramadhan tahun depan...
******
Meninggalkan At-Tin ini dengan harapan akan bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan dalam keadaan yang lebih baik, tanpa kekurangan apapun, tanpa kekurangan siapapun...
Sebuah tekad bahwa tahun depan saya harus berusaha segenap jiwa dan raga untuk beritikaf full 10 hari terakhir dan bisa mendapatkan lailatul qadar. Semoga Allah memudahkan dan mengabulkan permintaan ini...
Taqabbalallahu minna wa minkum, Semoga Allah menerima ibadahku dan ibadahmu. Semoga aktivitas ibadah kita di bulan Ramadhan ini bisa mengantarkan kita menjadi pribadi yang bertaqwa...
Jazakumullah khair kepada Tia, Bu Husni, Mba ida, Betty, Velia, Herlin, Septi, Anah, Faridha, dan Auline yang telah beritikaf bersamaku.... Semoga kita berkesempatan itikaf lagi Ramadhan tahun depan
aamin, Allahumma aamiin..
ReplyDeleteSubhanallah mba
:)
jazakillah ukhti, salam kenal :)
ReplyDeletethanks sudah di-add :)
wa'iyyaki mba,
ReplyDeletesalam ukhuwah :)
wuaaaah, dini ketinggalan cerita nih... ^^ salam takzim untuk ust. Ibnu Jarir. Lain kali diundang ke sentul nich, sekali2 beliau mengisi i'tikaf di sini...
ReplyDelete