Monday, 7 February 2011

Gila Gelar


Kemarin seorang teman mengeluh, "masa orang tuanya gak mau anaknya diajari les bahasa inggris sama saya. cuma karena saya bilang kalau saya cuma tamatan SMA... huh! padahal kalau dari segi kemampuan, bahasa inggris saya kan gak jelek. saya mampu kok berbahasa inggris dengan baik. tidak kalah dengan bahasa inggris-nya anak-anak kuliahan. saya bener-bener sakit hati li..." saya cuma bisa terbelalak, "heh, beneran. masa sih cuma karena belum sarjana kamu ditolak jadi pengajar bahasa inggris anak smp?" dia mengangguk sedih, "iya, orang tuanya bilang gituh..." saya jadi ikutan sedih, padahal bahasa inggrisnya keren, malah bisa nglahin anak-anak kuliahan. karena dia selalu belajar otodidak.

Katanya lagi, "padahal waktu saya privat bahasa indonesia sama orang asing, dia gak keberatan diajarin sama saya meski saya cuma tamatan SMA. dia bilang, no problem selama saya punya kemampuan itu..." hmm... jadi gini ya orang-orang Indonesia, gelar itu penting melebihi kemampuannya... makanya banyak orang yang rela ngeluarin duit banyak cuma buat beli gelar (ilegal) yang diterbitkan lembaga pendidikan fiktif. Tangisan dunia pendidikan yang sungguh menyayat

Memang orang akan bangga jika memiliki gelar sarjana, doktor, bahkan profesor untuk menaikkan posisi tawarnya. Namun, kemampuan finansial yang tidak diimbangi dengan kemampuan intelektual mengakibatkan banyak orang yang memotong jalur (ambil jalan ternatif) untuk memudahkannya mendapatkan gelar akademik. Hal itulah yang menjadi penyebab perdagangan gelar kesarjaan dan gelar akademik lainnya. Tanpa kuliah, ujian skripsi, tesis, dan disertasi, orang bisa mendapatkan gelar yang diinginkannya. Itu adalah penipuan besar. Padahal, gelar tersebut tidak akan berguna jika tidak diimbangi dengan kemampuan intelektual dan skill. Apalah berharganya gelar doktor, jika kemampuannya tidak lebih baik dari yang bergelar sarjana S1.

Orang Indonesia itu gila gelar? menjawab ini, rasanya tidak berlebihan jika saya jawab,  ya. Ssaat ini memang tingkat keparahan  sindrom ini di Indonesia sangat tinggi. Meski sindrom ini juga merasuk dan merusak segenap penjuru bumi, termasuk negara adidaya seperti Amerika Serikat, tapi sindrom ini tidak separah di Indonesia (sharing dengan seorang kawan).

Menengok lebih jauh ke belakang, fenomena gila gelar itu tidak terlepas dari budaya kerajaan di Indonesia. Orang Jawa akan dihormati jika mereka memiliki gelar yang diberikan kerajaan. Misalnya, orang akan dihormati dalam kehidupan sosial masyarakat jika menyandang gelar-gelar yang membuatnya disegani. Bahkan, seorang raja merasa perlu menaikkan gelar untuk melegitimasi kekuasaannya. Jadi tidak heran pada masa modern seperti sekarang pun, orang ramai memburu gelar dengan berbagai cara untuk menaikkan prestise diri di hadapan masyarakat. Mulai dari akademisi, profesional hingga birokrat. Bahkan gelar 'haji' pun turut jadi incaran (padahal, Rasulullah saja tidak pernah memamerkan gelar tersebut meskipun beliaulah manusia yang paling sempurna melaksanakannya). Masyarakat masih lebih menghormati seseorang dengan melihat gelarnya dan bukan karyanya.

Jika mau membandingkan dengan ilmuwan Jepang, ceritanya mas ramli, mereka tidak biasa untuk tidak menuliskan gelar. Jika ada seminar atau kuliah umum yang diadakan di kampus, sehebat apapun professor yang akan diundang untuk berbicara, belum pernah beliau melihat ada embel-embel gelar di depan atau di belakang namanya.Tetapi lain halnya jika yang diundang berbicara adalah professor dari luar Jepang, maka biasanya dilengkapi dengan embel-embel.

Kehebatan para peneliti di Jepang bukan dilihat dari banyaknya gelar yang dipunyainya. Banyak professor yang telah mendalami dan mengikuti program pendidikan dari berbagai major yang terkait dengan penelitiannya, tetapi namanya tidak semakin panjang dengan gelar-gelar yang didapatnya.

Di Jepang tidak ada istilah guru besar. Sehingga para dosen tidak perlu disibukkan dengan mengejar target ini itu untuk mendapatkan gelar ini.Oleh karenanya mereka lebih enjoy melakukan penelitian apa saja yang diinginkannya. Seorang asisten professor di kampus, jika melihat hasil penelitian dan tulisan-tulisannya yang tersebar di jurnal Jepang dan internasional, seandainya dia berada di Indonesia, dengan mudahnya dia akan mendapatkan gelar guru besar. Tetapi tidak dengan di Jepang, statusnya tetap sebagai asisten professor sekalipun dia layak sekali disebut professor, dan bukan asisten.

Esensi pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membebaskan diri dari segala bentuk kebodohan. Bukan sekadar selembar ijazah atau embel-embel gelar kesarjanaan. Seharusnya orang tidak butuh gelar untuk menegaskan kemampuan intelektualnya. Seharusnya dengan karya, kemampuannya bisa diakui semua orang. Bahkan, orang tidak akan merasa perlu sekolah formal jika merasa mampu membebaskan diri dari kebodohan. Dengan menyandang gelar tinggi tapi tidak mampu melakukan apa-apa, mereka malah menjadi bahan gunjingan dan tertawaan orang. Apalagi, yang disandang gelar palsu. 

Teringat kata Ippho Santosa (Penulis Qalbu Marketing), "kenapa tidak kita sendiri yang memberikan gelar pada kita (self-titling)?" jangan cuma kampus, agama, pemerintah dan masyarakat yang selalu memberikan gelar kepada diri kita. Bukan ide yang gendeng menurut saya, motivator Andrie Wongso saja punya predikat SDTT TBS alias Sekolah Dasar Tidak Tamat Tetapi Bisa Sukses. Pas dan pantas 'kan? Pengusaha Joger pun ndak mau kalah. Dia punya predikat BAA, BSS. Maksudnya, Bukan Apa-Apa, Bukan Siapa-Siapa. Benar-benar lugas dan cerdas 'kan? tidak perlu susah-susah mendapatkan gelar yang ilegal

Meski banyak yang bilang, "Itu mah bukan gila gelar, tetapi gelar gila!" Ah, biar saja! Tidak melanggar hukum ini. Kalau titel-titel formal itu manfaatnya untuk personal branding, sebenarnya titel non-formal yang terkesan guyonan itu juga tidak jauh berbeda. Malah efeknya bisa lebih greget dan bisa bikin kaget!

14 comments:

  1. gila gelar yang membudaya (doh)

    ReplyDelete
  2. (doh) (hammer)

    eh copas ya li

    haaha

    ReplyDelete
  3. setidaknya...qta tidak termasuk manusia gila gelar, biarlah ALOOH sahaja yg memberi gelar kpd qta, dan itu adalah GELAR KETAQWAAN dan KEMULIAAN sebagai hamba

    ReplyDelete
  4. bener.. amiin...
    ntar juga kita bakalan dapet gelar yang pasti: alm atau almh :D

    ReplyDelete
  5. gila gelar, gila hormat, wedehhhh, mind set-nya udah dari jaman bingen!

    ReplyDelete
  6. bagus mba..
    izin sharing di fb ya mba..:)
    maklum udah masa2 akan mendapatkan gelar..:p

    ReplyDelete
  7. yup. kalo bangsa ni mau maju. wajib diubah mind set kayak gitu..

    ReplyDelete
  8. silakan... semoga gelarnya (baca: karya) bermanfaat tuk orang banyak :)

    ReplyDelete
  9. yang membudaya harusnya gila ilmu...

    ReplyDelete
  10. bener banget.. *jadi inget film 3 idiots*

    ReplyDelete
  11. like this *semoga tidak menjadi gila dengan gelar2 yang kita punya*

    ReplyDelete