Friday, 14 October 2011

Pidato Bill Gates di Harvard University

Rating:★★★★
Category:Other
** Pidato Bill Gates di acara Wisuda Mahasiswa Harvard University 7 Juni 2007 **

Presiden Bok, mantan presiden Rudenstine, presiden terpilih Faust, para anggota Harvard Corporation dan Dewan Pengawas, dosen-dosen, para orang tua dan khususnya mahasiswa yang lulus:

Saya telah menunggu lebih dari 30 tahun untuk mengatakan hal ini, “Ayah, saya selalu bilang bahwa saya akan kembali untuk mengambil gelar saya.”

Saya ingin berterimakasih ke Harvard untuk penghargaan yang diberikan tepat pada waktunya ini. Tahun depan saya akan memulai pekerjaan baru dan sangat senang untuk akhirnya bisa mencantumkan gelar universitas di resume saya.

Saya ingin mengucapkan selamat kepada semua yang lulus hari ini karena berhasil mendapat gelar kalian lewat cara yang langsung. Saya sendiri cukup senang ketika Crimson menjuluki saya sebagai “Harvard drop out yang paling sukses.” Sepertinya ini membuat saya peringkat pertama (valedictorian) angkatan yang spesial . . . saya yang terbaik di antara orang-orang yang gagal.

Tetapi saya juga mau dianggap sebagai orang yang membuat Steve Ballmer untuk drop out dari sekolah bisnis. Saya rupanya punya pengaruh yang buruk. Oleh karena itu saya diundang untuk berbicara pada acara wisuda kalian. Jika saya berbicara pada acara orientasi kalian, mungkin jumlah kalian jadi lebih sedikit hari ini.

Harvard merupakan pengalaman sangat fenomenal bagi saya. Kehidupan akademik sangat mempesona. Saya dulu suka ikut kuliah kelas-kelas yang tidak pernah saya daftar. Kehidupan asrama juga sangat menyenangkan. Ketika itu saya tinggal di Radcliffe, di Currier House. Selalu saja ada banyak orang di kamar saya mendiskusikan berbagai hal sampai larut malam, karena semua orang tahu saya tidak perlu khawatir untuk bangun di pagi hari. Begitu ceritanya yang membuat saya menjadi pemimpin grup anti sosial. Kami jadi bergantung satu sama lain sebagai suatu bentuk penolakan kami terhadap orang-orang sosial.

Radcliffe merupakan tempat yang sangat asyik untuk ditinggali. Ada banyak mahasiswi di sana dan kebanyakan merupakan tipe saintis-matematikawan. Kombinasi ini memberikan peluang yang terbaik bagi saya, jika anda mengerti apa yang saya maksud. Di sini saya mengambil pelajaran berharga bahwa memperbaiki peluang tidak memberikan jaminan sukses.

Salah satu ingatan terbesar saya tentang Harvard terjadi di bulan Januari 1975, ketika saya menelpon dari Currier House ke perusahaan di Albuquerque yang baru saja mulai membuat komputer pribadi. Saya menawarkan piranti lunak ke mereka.

Saya khawatir mereka akan sadar bahwa saya hanya seorang mahasiswa yang tingal di asrama dan akan menutup telpon. Tetapi ternyata mereka bilang “kami belum siap, coba hubungi kami lagi dalam sebulan,” yang ternyata merupakan suatu hal yang bagus, karena kami belum menulis software tersebut. Sejak saat itu, saya bekerja siang malam di projek ekstra kredit ini, yang menandai tamatnya pendidikan tinggi saya dan mulainya perjalanan luar biasa saya dengan Mircosoft.

Apa yang saya ingat di atas segalanya tentang Harvard adalah keberadaan saya di tengah-tengah energi dan inteligen yang luar biasa. Pengalaman ini bisa menyenangkan, menakutkan, kadang-kadang bahkan mematahkan semangat, tetapi selau menantang. Betul-betul merupakan kesempatan yang luar biasa—dan walaupun saya pergi meninggalkannya sangat cepat, saya telah terbentuk oleh pengalaman saya di Harvard, perkawanan yang saya ciptakan dan ide-ide yang saya kerjakan.

Tetapi melihat ke masa lalu secara serius . . . ada satu hal besar yang saya sesalkan.

Saya meinggalkan Harvard tanpa memiliki kesadaran mengenai kesenjangan buruk yang melanda dunia- ketimpangan antara kesehatan, dan kekayaan, dan kesempatan yang mengutuk jutaan manusia hidup dalam keputusasaan.

Saya belajar banyak di Harvard mengenai ide-ide baru di bidang ekonomi dan politik. Saya terkekspos banyak terhadap kemajuan-kemajuan di bidang sains.

Tetapi pencapaian terbesar kemanusiaan bukanlah pada penemuan-penemuannya—melainkan bagaimana penemuan-penemuan tersebut digunakan untuk mengurangi kesenjangan. Baik itu lewat demokrasi, pendidikan publik yang kuat, kesehatan yang berkualitas maupun kesempatan ekonomi yang luas—mengurangi ketimpangan merupakan keberhasilan tertinggi umat manusia.

Saya meninggalkan kampus tanpa banyak tahu tentang jutaan orang muda yang tercurangi oleh kesempatan mengeyam pendidikan di negara ini. Dan saya tidak tahu apa-apa mengenai jutaan orang yang hidup dalam jeratan kemiskinan dan penyakit di negara-negara berkembang.

Perlu puluhan tahun untuk membuat saya sadar.

Kalian datang ke Harvard pada era yang sangat berbeda. Kalian tahu mengenai ketimpangan dunia ketimbang para lulusan yang datang sebelum kalian. Dalam waktu kalian di sini, saya harap kalian memiliki kesempatan untuk memikirkan bagaimana—dalam era kemajuan teknologi yang pesat—kita dapat memecahkan masalah ketimpangan-ketimpangan ini.

Bayangkan, katakanlah untuk sekedar diskusi, kalian punya ekstra waktu setiap minggu dan beberapa dolar lebih dalam sebulan untuk disumbangkan pada hal tertentu—dan kalian ingin menghabiskan waktu dan uang tersebut untuk suatu hal yang memiliki hasil yang terbesar dalam menyelematkan dan meningkatkan hidup orang banyak. Dimana kalian ingin menghabiskannya?
Bagi Melinda dan saya, tantangannya sama: bagaimana kami bisa melakukan suatu hal yang baik dalam jumlah besar dengan sumber yang kami miliki.

Ketika berdiskusi soal ini, Melinda dan saya membaca sebuat artikel mengenai jutaan anak-anak yang melarat kesakitan di negara-negara miskin dari penyakit-penyakit yang lama telah kita basmi di negara ini. Measles, malaria, pneumonia, hepatitis B, yellow fever. Satu penyakit yang tidak pernah saya dengar sebelumnya, rotavirus, membunuh setengah juta anak-anak setiap tahun—tidak satupun dari mereka di Amerika Serikat.

Kami sangat terkejut. Kami sebelumnya berasumsi jika jutaan anak-anak melarat kesakitan dan mereka bisa ditolong, dunia akan memprioritaskan penemuan dan penyebaran obat-obatan untuk membantu mereka. Tetapi ini tidak terjadi. Untuk kurang dari satu dolar, ada beberapa intervensi yang dapat menyelamatkan jiwa tetapi tidak disalurkan.

Jika anda percaya bahwa setiap kehidupan memiliki harga yang sama, sangat mengusik hati untuk menyadari bahwa beberapa jiwa dilihat penting untuk diselamatkan, sedangkan beberapa yang lain tidak. Kami akhirnya bilang kepada diri kami: “Tidak mungkin begini kenyataannya. Tetapi jika ini benar, maka ini harus jadi prioritas kedermawanan kami.”

Jadi kami mulai usaha kami dengan cara yang sama dengan setiap orang yang ada di sini memulai sesuatu. Kami bertanya: “Bagaimana sampai dunia membiarkan anak-anak ini meninggal?”

Jawabannya mudah, dan kejam. Pasar tidak memberikan apa-apa dengan menolong anak-anak ini, dan pemerintahan tidak mensubsidinya. Jadi banyak anak meninggal karena ibu-ibu dan bapak-bapak mereka tidak memiliki kekuasaan di pasar dan tidak memiliki suara di sistem ini.

Tetapi kalian dan saya memiliki keduanya.

Kita dapat membuat kekuatan-kekuatan pasar bekerja lebih baik untuk orang-orang miskin jika kita dapat mengembangkan kapitalisme yang lebih kreatif—jika kita dapat memperpanjang jangkauan kekuatan-kekuatan pasar sehingga lebih banyak orang dapat mengambil untung, atau setidaknya dapat mencari nafkah dengan memberikan pelayanan kepada orang-orang yang dilanda ketimpangan terburuk. Kita juga bisa menekan pemerintahan di segala penjuru dunia untuk membelanjakan uang pajak rakyatnya dengan cara-cara yang lebih sesuai dengan nilai-nilai orang-orang yang membayar pajak tersebut.

Jika kita dapat menemukan berbagai cara yang dapat membantu orang-orang miskin sehingga dapat menghasilkan untung bagi bisnis dan suara bagi politisi, kita akan dapat menemukan cara yang sustainable untuk mengurangi ketimpangan-ketimpangan dunia. Kerjaan ini tidak akan pernah selesai. Tetapi usaha yang serius untuk menjawab tantangan ini akan merubah dunia.

Saya optimis kita bisa melakukan hal ini, tetapi saya juga bicara denga para skeptik yang mengklaim bahwa tidak ada harapan. Mereka bilang: “Ketimpangan telah ada dengan kita sejak dari awal, dan akan ada bersama kita sampai akhir jaman—karena orang-orang . . . tidak . . . peduli.” Saya sama sekali tidak setuju.

Saya percaya kita memiliki kedermawanan yang lebih banyak dari apa yang bisa kita perbuat dengan kedermawanan tersebut.

Kita semua di Halaman (Harvard Yard) ini, pada satu saat atau lainnya, telah melihat tragedi kemanusiaan yang menyanyat hati, tetapi kita tidak melakukan apa-apa—bukan karena kita tidak peduli, tetapi karena kita tidak tahu harus berbuat apa-apa. Kalau kita tau bagaimana menolong, pasti kita akan bertindak.

Halangan untuk berubah bukanlah ketidakpedulian, melainkan karena terlalu banyak kompleksitas.

Untuk merubah kepedulian menjadi aksi, kita perlu melihat suatu masalah, solusinya dan hasil dari solusi tersebut. Tetapi kompleksitas memblokir ketiga langkah tersebut.

Walaupun dengan adanya internet dan beita 24 jam, tetap saja merupakan usaha yang sangat rumit untuk membuat orang-orang melihat masalah-masalah yang sebenarnya. Ketika pesawat jatuh, para pejabat seketika memanggil konferensi pers. Mereka berjanji untuk menginvestigasi, mencari penyebabnya dan menghindari kecelakaan yang sama di masa depan.

Tetapi jika para pejabat benar-benar mau jujur, mereka akan bilang, “ Dari semua orang di dunia ini dari hal-hal yang bisa dihindari, setengah persen dari mereka adalah penumpang pesawat ini. Kami akan melakukan semua usaha untuk memecahkan masalah yang merengut jiwa setengah persen.”

Masalah yang lebih besar bukanlah pesawat jatuh, tetapi jutaan kematian yang bisa dihindari.

Kita tidak banyak membaca soal kematian-kematian ini. Media hanya meliput hal-hal yang baru—dan jutaan orang meninggal bukanlah hal yang baru. Jadi berita ini hanya mengendap di belakang, dimana lebih mudah untuk tidak diperhatikan sama sekali. Tetapi ketika kita melihat atau membacanya, sulit untuk tetap memusatkan perhatian kita pada masalah ini. Sangat pelik untuk melihat penderitaan jika situasinya sangat kompleks sehingga kita tidak tahu bagaimana mau menolong. Dan jadinya kita berpaling muka.

Jika kita benar-benar dapat melihat masalahnya, yang merupakan langkah pertama, kita dihadapkan pada langkah kedua: mengurai benang kusut untuk menemukan solusi.

Menemukan solusi sangat penting jka kita ingin benar-benar menggunakan kepedulian kita secara maksimal. Jika kita memiliki jawaban-jawaban yang jelas dan teruji setiap kali sebuah organisasi atau individu bertanya “Bagaimana saya bisa bantu?”, makan kita dapat bertindak—kita dapat memastikan tidak ada satupun kepedulian di dunia ini yang terbuang sia-sia. Tetapi kompleksitas menjadikannya sangat sulit untuk membuat telusuran tindakan bagi orang-orang yang peduli—dan ini membuat kepedulian mereka menjadi sangat sulit.

Menerobos kompleksitas untuk mencari solusi harus melewati empat langkah yang bisa diramalkan: rumuskan suatu tujuan, cari pendekatan yang menggunakan daya pengungkit yang tinggi, temukan teknologi ideal untuk pendekatan tersebut, dan untuk saat ini, gunakan teknologi yang sudah ada secara cerdik—baik itu yang mutakhir seperti obat-obatan, atau yang lebih sederhana seperti kelambu.

Epidemik AIDS dapat dijadikan contoh. Tujuan yang luasnya, tentu saja, untuk memusnahkan penyakit ini. Pendekatan dengan daya ungkit yang tinggi adalah penghindaran. Teknologi ideal adalah vaksin yang memberikan imunitas sepanjang hidup dengan satu dosis. Jadi pemerintah, perusahaan farmasi, dan yayasan mendanai riset vaksin. Tetapi hasil kerja mereka biasanya akan makan waktu puluhan tahun, jadi saat ini, kita harus bekerja dengan apa yang kita miliki—dan cara preventif yang paling baik yang kita miliki saat ini adalah untuk menyerukan kepada orang-orang untuk menghindari tingkah laku yang beresiko.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu siklus empat-langkah lagi. Ini polanya. Yang paling penting adalah untuk tidak pernah berhenti berpikir dan bekerja—dan jangan pernah melakukan apa yang kita pernah lakukan terhadap malaria dan tuberculosis di abad ke-20—yaitu menyerah kepada kompleksitas.

Langkah terakhir—setelah melihat masalah dan menemukan suatu pendekatan—adalah untuk mengukur hasil dari kerja kalian dan membagi kesuksesan dan ketidakberhasilan sehingga orang lain dapat belajar dari usaha-usaha kalian.

Tentu anda perlu statistik. Anda harus dapat menunjukkan bahwa suatu program adalah untuk memvaksinasi jutaan anak-anak. Anda harus dapat menunjukkan pengurangan jumlah anak-anak yang meninggal dari berbagai penyakit ini. Hal ini sangat esensial bukan saja untuk memperbaiki program tersebut, tapi juga untuk mendapatkan investasi dari bisnis dan pemerintah.

Tapi jika kalian ingin memberikan inspirasi bagi orang-orang untuk berkecimpung, kalian harus dapat menunjukkan lebih dari angka-angka; kalian harus dapat menyalurkan sisi kemanusiaan dari hasil usaha kalian—sehingga orang-orang dapat merasakan apa artinya menyelamatkan jiwa bagi keluarga yang bersangkutan.

Saya ingat pergi ke Davos beberapa tahun lalu dan duduk di panel kesehatan dunia yang mendiskusikan berbagai cara menyelematkan jutaan jiwa. Jutaan! Coba pikir perasaan yang dialami menyelamatkan satu jiwa saja—lantas kalikan dengan jutaan . . . Sayangnya panel ini merupakan panel yang paling membosankan yang pernah saya hadiri. Sangat jenuhnya saya sendiri tidak tahan.

Apa yang membuat pengalaman itu benar-benar beda adalah sebelum ke sana, saya baru saja menghadiri acara dimana kami memperkenalkan versi ke-13 sebuah piranti lunak, dan kita melihat orang-orang meloncat dan teriak kegirangan. Saya senang sekali membuat orang meloncat kegirangan tentang software—tetapi kenapa kita tidak bisa menghasilkan kegembiraan yang lebih besar untuk menolong jiwa orang?

Anda tidak dapat membuat orang meloncat kegirangan kecuali anda dapat menolong mereka melihat dan merasakan hasilnya. Dan bagaimana caranya itu—merupakan problem yang kompleks.

Walau begitu, saya tetap optimis. Memang betul, ketimpangan telah berada bersama kita sejak dulu, tetapi peralatan yang kita miliki yang dapat dipakai untuk menerobos kompleksitas baru-baru saja muncul. Alat-alat baru ini—mereka dapat membantu kita memaksimalkan bentuk kepedulian kita—dan ini yang dapat membuat masa depan bisa berbeda dari masa lalu.

Inovasi-inovasi penting dan yang masih terus berlanjut saat ini—bioteknologi, komputer, internet—memberikan kita kesempatan yang tidak pernah kita miliki sebelumnya untuk membasmi kemiskinan akut dan menghentikan kematian dari penyakit yang bisa dihindari.

Enam puluh tahun lalu, George Marshall datang ke acara wisuda ini dan mengumumkan sebuah rencana untuk membantu bangsa-bangsa Eropa pasca perang. Dia bilang: “Saya pikir salah satu kesulitannya adalah masalah ini merupakan suatu yang sangat kompleks sehingga jumlah fakta-fakta yang diberikan ke publik oleh pers dan radio membuatnya sangat sulit untuk orang biasa di jalanan untuk mengerti situasinya secara jelas. Hampir mustahil pada jarak ini untuk dapat mengerti pentingnya situasi ini.”

Tiga puluh tahun setelah Marshall memberikan pidatonya, pada saat teman-teman sekelas saya lulus tanpa saya, teknologi baru mulai muncul yang dapat membuat dunia menjadi lebih kecil, lebih terbuka dan berkurang jaraknya.

Munculnya komputer pribadi yang murah harganya menumbuhkan jaringan kuat yang telah merubah kesempatan untuk belajar dan berkomunikasi.

Hal yang paling ajaib dari jaringan ini bukan hanya ia mengurangi jarak dan membuat setiap orang bertetangga dengan yang lainnya. Ia juga menambah jumlah otak-otak cemerlang yang dapat berkolaborasi memecahkan masalah yang sama—dan ini meningkatkan skala jumlah inovasi yang dikeluarkan beberapa derajat.

Pada saat yang bersamaan, untuk setiap orang di dunia yang memiliki akses ke teknologi ini, lima orang tidak punya akses. Ini artinya banyak otak-otak yang kreatif tidak dapat ikut serta dalam diskusi ini—orang-orang pandai dengan ilmu praktikal dan pengalaman yang berhubungan yang tidak memiliki teknologi untuk mengasah bakat mereka atau menyumbang ide-ide mereka ke seluruh penjuru dunia.

Kita perlu sebanyak-banyaknya orang yang dapat mengakses teknologi ini, karena kemajuan ini dapat memicu revolusi dalam apa yang dapat diperbuat oleh manusia untuk satu sama lain. Kemajuan-kemajuan teknologi ini juga dapat membuat bukan hanya pemerintah, tetapi universitas, perusahaan, organisasi yang lebih kecil dan bahkan individu untuk melihat masalah, melihat solusi, dan mengukur hasil kerja usaha mereka untuk mengatasi kelaparan, kemiskinan, dan kemeleratan yang George Marshall bicarakan 60 tahun lalu.

Para anggota keluarga Harvard: Di Halaman ini merupakan koleksi besar talenta intelektual di dunia.

Untuk apa?

Tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa para pengajar, dekan, alumni, mahasiswa dan penyokong Harvard telah menggunakan kekuasaan mereka untuk memperbaiki kehidupan banyak orang di sini dan di dunia. Tetapi apakah kita dapat berbuat lebih banyak? Dapatkan Harvard mendedikasikan intelektualitasnya untuk memperbaiki kehidupan orang-orang yang tidak akan pernah mendengar nama universitas ini?

Ijinkan saya mengajukan permintaan kepada para dekan dan profesor—pemimpin intelektual di Harvard. Ketika anda merekrut profesor, memberikan tenure, mengulas kurikulum dan menentukan syarat kelulusan, tolong tanya diri anda:

Apakah otak-otak terbaik kita perlu didedikasikan untuk memecahkan masalah-masalah terbesar?

Apakah Harvard harus mendorong para dosennya untuk memecahkan ketimpangan-ketimpangan dunia? Apakah mahasiswa Harvard perlu belajar tingkat kedalaman kemiskinan global . . . meluasnya kelaparan dunia . . . kurangnya air bersih . . . anak-anak perempuan yang tidak diberikan kesempatan bersekolah . . . anak-anak yang meninggal karena penyakit-penyakit yang kita dapat sembuhkan?

Apakah orang-orang yang memiliki hak istimewa terbesar di dunia perlu belajar tentang kehidupan orang-orang yang tidak memiliki kesempatan yang sama di dunia?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan retorikal—kalian akan menjawabnya dengan kebijakan-kebijakan kalian.

Ibu saya, yang sangat bangga ketika saya diterima oleh Harvard—tidak pernah berhenti mendorong saya untuk berbuat lebih banyak untuk yang lain. Beberapa hari sebelum hari pernikahan saya, dia mengundang orang-orang dimana dia membacakan keras-keras semua surat yang dia telah kirim ke Melindad tentang pernikahan. Ibu saya menderita kanker saat itu, tetapi dia melihat satu kesempatan lagi untuk menyebarkan lagi pesan dia, dan di akhir surat dia berujar: “Dari mereka yang telah menerima banyak, banyak yang diharapkan.”

Ketika kalian yang berada di Halaman ini memikirkan apa saja yang telah kita dapat—dalam talenta, hak istimewa dan kesempatan—hampir tidak ada batas dari apa yang dunia berhak harapkan dari kita.

Sejalan dengan janji-janji yang ada pada jaman ini, saya ingin mendesak setiap yang lulus hari ini untuk mendalami satu isu—suatu problem yang kompleks, suatu ketimpangan yang mendalam, dan menjadi seorang spesialis dalam hal itu. Kalau anda dapat menjadikannya sebagai fokus karir anda, fantastik. Tapi anda tidak perlu melakukan hal itu untuk membuahkan hasil. Anda dapat menggunakan internet beberapa jam setiap minggu untuk belajar, menemukan orang-orang lain dengan ketertarikan pada hal yang sama, melihat rintangan, dan menemukan cara untuk menerobos rintangan tersebut.

Jangan biarkan kompleksitas menahan anda. Jadilah seorang aktivis. Pecahkan masalah ketimpangan yang besar. Ini akan menjadi pengalaman paling berharga dalam hidup kalian.

Kalian tumbuh besar dalam era yang menakjubkan. Ketika kalian meinggalkan Harvard, kalian memiliki teknologi yang tidak dimiliki oleh para anggota angkatan saya. Kalian mengetahui soal ketimpangan dunia, yang kami dulu tidak tahu. Dan dengan pengetahuan tersebut, kalian juga memiliki suara batin yang akan menyiksa kalian jika kalian tidak memperdulikan orang-orang ini yang hidupnya bisa kalian rubah dengan usaha yang kecil. Kalian memiliki lebih banyak dari apa yang kami miliki; kalian harus memulainya lebih dulu dan melakukannya lebih lama.

Dengan apa yang kalian ketahui, bagaimana kalian tidak melakukannya?

Dan saya harap kalian akan kembali ke Harvard 30 tahun mendatang dan merenungkan apa yang kalian telah lakukan dengan bakat dan energi kalian. Saya harap kalian tidak mengukur prestasi kalian hanya dengan keberhasilan karir kalian, tapi juga dari apa yang telah kalian lakukan untuk mengatasi ketimpangan dunia yang paling dalam . . . dari perlakuan yang kalian berikan pada orang-orang yang tinggal di seberang lautan yang tidak memeliki kesamaan apapun dengan kalian kecuali nilai kemanusiaan mereka.

Selamat.

============= English Version ============

** Microsoft chairman Bill Gates delivers the Commencement address
at Harvard University in Cambridge, Massachusetts. **

President Bok, former President Rudenstine, incoming President Faust, members of the Harvard Corporation and the Board of Overseers, members of the faculty, parents, and especially, the graduates:

I’ve been waiting more than 30 years to say this: “Dad, I always told you I’d come back and get my degree.”

I want to thank Harvard for this timely honor. I’ll be changing my job next year … and it will be nice to finally have a college degree on my résumé.

I applaud the graduates today for taking a much more direct route to your degrees. For my part, I’m just happy that the Crimson has called me “Harvard’s most successful dropout.” I guess that makes me valedictorian of my own special class … I did the best of everyone who failed.

But I also want to be recognized as the guy who got Steve Ballmer to drop out of business school. I’m a bad influence. That’s why I was invited to speak at your graduation. If I had spoken at your orientation, fewer of you might be here today.

Harvard was just a phenomenal experience for me. Academic life was fascinating. I used to sit in on lots of classes I hadn’t even signed up for. And dorm life was terrific. I lived up at Radcliffe, in Currier House. There were always lots of people in my dorm room late at night discussing things, because everyone knew I didn’t worry about getting up in the morning. That’s how I came to be the leader of the antisocial group. We clung to each other as a way of validating our rejection of all those social people.

Radcliffe was a great place to live. There were more women up there, and most of the guys were science-math types. That combination offered me the best odds, if you know what I mean. This is where I learned the sad lesson that improving your odds doesn’t guarantee success.

One of my biggest memories of Harvard came in January 1975, when I made a call from Currier House to a company in Albuquerque that had begun making the world’s first personal computers. I offered to sell them software.

I worried that they would realize I was just a student in a dorm and hang up on me. Instead they said: “We’re not quite ready, come see us in a month,” which was a good thing, because we hadn’t written the software yet. From that moment, I worked day and night on this little extra credit project that marked the end of my college education and the beginning of a remarkable journey with Microsoft.

What I remember above all about Harvard was being in the midst of so much energy and intelligence. It could be exhilarating, intimidating, sometimes even discouraging, but always challenging. It was an amazing privilege – and though I left early, I was transformed by my years at Harvard, the friendships I made, and the ideas I worked on.

But taking a serious look back … I do have one big regret.

I left Harvard with no real awareness of the awful inequities in the world – the appalling disparities of health, and wealth, and opportunity that condemn millions of people to lives of despair.

I learned a lot here at Harvard about new ideas in economics and politics. I got great exposure to the advances being made in the sciences.

But humanity’s greatest advances are not in its discoveries – but in how those discoveries are applied to reduce inequity. Whether through democracy, strong public education, quality health care, or broad economic opportunity – reducing inequity is the highest human achievement.

I left campus knowing little about the millions of young people cheated out of educational opportunities here in this country. And I knew nothing about the millions of people living in unspeakable poverty and disease in developing countries.

It took me decades to find out.

You graduates came to Harvard at a different time. You know more about the world’s inequities than the classes that came before. In your years here, I hope you’ve had a chance to think about how – in this age of accelerating technology – we can finally take on these inequities, and we can solve them.

Imagine, just for the sake of discussion, that you had a few hours a week and a few dollars a month to donate to a cause – and you wanted to spend that time and money where it would have the greatest impact in saving and improving lives. Where would you spend it?

For Melinda and for me, the challenge is the same: how can we do the most good for the greatest number with the resources we have.

During our discussions on this question, Melinda and I read an article about the millions of children who were dying every year in poor countries from diseases that we had long ago made harmless in this country. Measles, malaria, pneumonia, hepatitis B, yellow fever. One disease I had never even heard of, rotavirus, was killing half a million kids each year – none of them in the United States.

We were shocked. We had just assumed that if millions of children were dying and they could be saved, the world would make it a priority to discover and deliver the medicines to save them. But it did not. For under a dollar, there were interventions that could save lives that just weren’t being delivered.

If you believe that every life has equal value, it’s revolting to learn that some lives are seen as worth saving and others are not. We said to ourselves: “This can’t be true. But if it is true, it deserves to be the priority of our giving.”

So we began our work in the same way anyone here would begin it. We asked: “How could the world let these children die?”

The answer is simple, and harsh. The market did not reward saving the lives of these children, and governments did not subsidize it. So the children died because their mothers and their fathers had no power in the market and no voice in the system.

But you and I have both.

We can make market forces work better for the poor if we can develop a more creative capitalism – if we can stretch the reach of market forces so that more people can make a profit, or at least make a living, serving people who are suffering from the worst inequities. We also can press governments around the world to spend taxpayer money in ways that better reflect the values of the people who pay the taxes.

If we can find approaches that meet the needs of the poor in ways that generate profits for business and votes for politicians, we will have found a sustainable way to reduce inequity in the world. This task is open-ended. It can never be finished. But a conscious effort to answer this challenge will change the world.

I am optimistic that we can do this, but I talk to skeptics who claim there is no hope. They say: “Inequity has been with us since the beginning, and will be with us till the end – because people just … don’t … care.” I completely disagree.

I believe we have more caring than we know what to do with.

All of us here in this Yard, at one time or another, have seen human tragedies that broke our hearts, and yet we did nothing – not because we didn’t care, but because we didn’t know what to do. If we had known how to help, we would have acted.

The barrier to change is not too little caring; it is too much complexity.

To turn caring into action, we need to see a problem, see a solution, and see the impact. But complexity blocks all three steps.

Even with the advent of the Internet and 24-hour news, it is still a complex enterprise to get people to truly see the problems. When an airplane crashes, officials immediately call a press conference. They promise to investigate, determine the cause, and prevent similar crashes in the future.

But if the officials were brutally honest, they would say: “Of all the people in the world who died today from preventable causes, one half of one percent of them were on this plane. We’re determined to do everything possible to solve the problem that took the lives of the one half of one percent.”

The bigger problem is not the plane crash, but the millions of preventable deaths.

We don’t read much about these deaths. The media covers what’s new – and millions of people dying is nothing new. So it stays in the background, where it’s easier to ignore. But even when we do see it or read about it, it’s difficult to keep our eyes on the problem. It’s hard to look at suffering if the situation is so complex that we don’t know how to help. And so we look away.

If we can really see a problem, which is the first step, we come to the second step: cutting through the complexity to find a solution.

Finding solutions is essential if we want to make the most of our caring. If we have clear and proven answers anytime an organization or individual asks “How can I help?,” then we can get action – and we can make sure that none of the caring in the world is wasted. But complexity makes it hard to mark a path of action for everyone who cares — and that makes it hard for their caring to matter.

Cutting through complexity to find a solution runs through four predictable stages: determine a goal, find the highest-leverage approach, discover the ideal technology for that approach, and in the meantime, make the smartest application of the technology that you already have — whether it’s something sophisticated, like a drug, or something simpler, like a bednet.

The AIDS epidemic offers an example. The broad goal, of course, is to end the disease. The highest-leverage approach is prevention. The ideal technology would be a vaccine that gives lifetime immunity with a single dose. So governments, drug companies, and foundations fund vaccine research. But their work is likely to take more than a decade, so in the meantime, we have to work with what we have in hand – and the best prevention approach we have now is getting people to avoid risky behavior.

Pursuing that goal starts the four-step cycle again. This is the pattern. The crucial thing is to never stop thinking and working – and never do what we did with malaria and tuberculosis in the 20th century – which is to surrender to complexity and quit.

The final step – after seeing the problem and finding an approach – is to measure the impact of your work and share your successes and failures so that others learn from your efforts.

You have to have the statistics, of course. You have to be able to show that a program is vaccinating millions more children. You have to be able to show a decline in the number of children dying from these diseases. This is essential not just to improve the program, but also to help draw more investment from business and government.

But if you want to inspire people to participate, you have to show more than numbers; you have to convey the human impact of the work – so people can feel what saving a life means to the families affected.

I remember going to Davos some years back and sitting on a global health panel that was discussing ways to save millions of lives. Millions! Think of the thrill of saving just one person’s life – then multiply that by millions. … Yet this was the most boring panel I’ve ever been on – ever. So boring even I couldn’t bear it.

What made that experience especially striking was that I had just come from an event where we were introducing version 13 of some piece of software, and we had people jumping and shouting with excitement. I love getting people excited about software – but why can’t we generate even more excitement for saving lives?

You can’t get people excited unless you can help them see and feel the impact. And how you do that – is a complex question.

Still, I’m optimistic. Yes, inequity has been with us forever, but the new tools we have to cut through complexity have not been with us forever. They are new – they can help us make the most of our caring – and that’s why the future can be different from the past.

The defining and ongoing innovations of this age – biotechnology, the computer, the Internet – give us a chance we’ve never had before to end extreme poverty and end death from preventable disease.

Sixty years ago, George Marshall came to this commencement and announced a plan to assist the nations of post-war Europe. He said: “I think one difficulty is that the problem is one of such enormous complexity that the very mass of facts presented to the public by press and radio make it exceedingly difficult for the man in the street to reach a clear appraisement of the situation. It is virtually impossible at this distance to grasp at all the real significance of the situation.”

Thirty years after Marshall made his address, as my class graduated without me, technology was emerging that would make the world smaller, more open, more visible, less distant.

The emergence of low-cost personal computers gave rise to a powerful network that has transformed opportunities for learning and communicating.

The magical thing about this network is not just that it collapses distance and makes everyone your neighbor. It also dramatically increases the number of brilliant minds we can have working together on the same problem – and that scales up the rate of innovation to a staggering degree.

At the same time, for every person in the world who has access to this technology, five people don’t. That means many creative minds are left out of this discussion — smart people with practical intelligence and relevant experience who don’t have the technology to hone their talents or contribute their ideas to the world.

We need as many people as possible to have access to this technology, because these advances are triggering a revolution in what human beings can do for one another. They are making it possible not just for national governments, but for universities, corporations, smaller organizations, and even individuals to see problems, see approaches, and measure the impact of their efforts to address the hunger, poverty, and desperation George Marshall spoke of 60 years ago.

Members of the Harvard Family: Here in the Yard is one of the great collections of intellectual talent in the world.

What for?

There is no question that the faculty, the alumni, the students, and the benefactors of Harvard have used their power to improve the lives of people here and around the world. But can we do more? Can Harvard dedicate its intellect to improving the lives of people who will never even hear its name?

Let me make a request of the deans and the professors – the intellectual leaders here at Harvard: As you hire new faculty, award tenure, review curriculum, and determine degree requirements, please ask yourselves:

Should our best minds be dedicated to solving our biggest problems?

Should Harvard encourage its faculty to take on the world’s worst inequities? Should Harvard students learn about the depth of global poverty … the prevalence of world hunger … the scarcity of clean water …the girls kept out of school … the children who die from diseases we can cure?

Should the world’s most privileged people learn about the lives of the world’s least privileged?

These are not rhetorical questions – you will answer with your policies.

My mother, who was filled with pride the day I was admitted here – never stopped pressing me to do more for others. A few days before my wedding, she hosted a bridal event, at which she read aloud a letter about marriage that she had written to Melinda. My mother was very ill with cancer at the time, but she saw one more opportunity to deliver her message, and at the close of the letter she said: “From those to whom much is given, much is expected.”

When you consider what those of us here in this Yard have been given – in talent, privilege, and opportunity – there is almost no limit to what the world has a right to expect from us.

In line with the promise of this age, I want to exhort each of the graduates here to take on an issue – a complex problem, a deep inequity, and become a specialist on it. If you make it the focus of your career, that would be phenomenal. But you don’t have to do that to make an impact. For a few hours every week, you can use the growing power of the Internet to get informed, find others with the same interests, see the barriers, and find ways to cut through them.

Don’t let complexity stop you. Be activists. Take on the big inequities. It will be one of the great experiences of your lives.

You graduates are coming of age in an amazing time. As you leave Harvard, you have technology that members of my class never had. You have awareness of global inequity, which we did not have. And with that awareness, you likely also have an informed conscience that will torment you if you abandon these people whose lives you could change with very little effort. You have more than we had; you must start sooner, and carry on longer.

Knowing what you know, how could you not?

And I hope you will come back here to Harvard 30 years from now and reflect on what you have done with your talent and your energy. I hope you will judge yourselves not on your professional accomplishments alone, but also on how well you have addressed the world’s deepest inequities … on how well you treated people a world away who have nothing in common with you but their humanity.

Good luck.

2 comments: